Rabu, 24 April 2013

Barangkali Cinta



Barangkali cinta
Jika darahku mendesirkan gelombang yang tertangkap oleh darahmu
Dan engkau berteriak karenanya
Darahku dan darahmu
Terkunci dalam nadi yang berbeda
Namun berpadu dalam badai yang sama
Barangkali cinta
Jika napasmu merambatkan api yang menjalar ke paru-paruku
Dan aku terbakar karenanya
Napasmu dan napasku
Bangkit dari rongga dada yang berbeda
Namun lebur dalam bara yang  satu
Barangkali cinta
Jika ujung jemariku mengantar pesan yang menyebar keseluruh sel kulitmu
Dan engkau memahami seketika
Kulitmu dan kulitku
Membalut dua tubuh yang berbeda
Namun berbagi bahasa yang serupa
Barangkali cinta
Jika tatap matamu membuka pintu menuju jiwa
Dan dapati rumah yang kau cari
Matamu dan mataku
Tersimpan dalam kelopak yang terpisah
Namun bertemu di jalan setapak yang searah
Barangkali cinta
Karena darahku, napasku, kulitku, dan tatap mataku
Kehilangangan semua makna dan gunanya
Jika tak ada engkau di seberang sana
Barangkali cinta
Karena darahmu, napasmu, kulitmu, dan tatap matamu
Kehilangan semua perjalanan dan tujuan
Jika tak ada aku di seberang sini
Pastilah cinta
Yang punya cukup daya , hasrat, kelihaian, kecerdasan, dan kebijaksanaan
Untuk menghadirkan engkau , aku , ruang, waktu
Dan mejembatani semuanya
Demi memahami dirinya sendiri
-Dee-

Senin, 22 April 2013

In My Guitar


Hannaaaaaa… Teriak salah satu teman Hanna yang panik.
“Ada apa?” tanya Hana. Hana adalah seorang murid SMA Kirin di SMA, hari ini sedang melakukan ujian praktek biologi. “hmmmm Su sung ha” tepisnya. Iya ada apa dengan sungha? ‘tanya Hanna penasaran’. Lalu teman hana menjelaskan apa yang terjadi. “Dia terjatuh, entah bagaimana kepala belakangnya terbentur batu, dan sekarang dia tidak sadarkan diri”. Sebuah pipet yang digenggamnya terjatuh dan Hanna berlari, mencoba menemui sungha.
Melihat keramaian di lapangan dan mobil yang ingin membawa Sungha, Hanna mulai menghampirinya, tapi mobil itu segera pergi menuju rumah sakit.
“Sung-Ha” panggilnya dalam hati.
Saat di rumah sakit Ayah dan Ibu Sungha sedang menunggu Sungha. Ketika dokter keluar setelah selesai melakukan operasi penjahitan kepala belakang Sungha. “keadaannya sungguh sangat memperihatinkan, kepala belakangnya terkena benturan terlalu keras dann..” (suasana diam sementara) karena Ibunda Sungha tidak sanggup mendengar perkataan dokter ia memutuskan untuk duduk sambil menahan air mata yang jatuh terlalu banyak.
Apa dok? apa yang akan terjadi dengan Sungha? Tanya Ayah Sungha yang sangat penasaran. “Dia di diagonsis akan menderita cacat” jelasnya dengan lengkap. Ibunda Sungha yang tak kuat mendengar perkataan dokter pingsan dan Ayahnya menangis. “Dokter apakah cacat yang diderita anak saya ini bisa disembuhkan? Tolong dokter, bantu kami? Apa yang harus kami lakukan” tanya ayah Sungha. “banyak yang menderita cacat sejenis ini, saraf di otaknya mungkin ada yang putus, walaupun cacat pada dirinya ringan tapi jalan keluarnya hanyalah terapi fisikis dan terapi yang lainnya” jawab dokter,
“terapi ini harus rutin dilakukan dan berjalan sangat lama” sambungnya.
Tidak jauh dari perbincangan Ayah dan Ibu Sungha, Kim Hanna mendengar perkataan yang dilakukan oleh Ayah dan Ibu sungha pada dokter. “Sunghaaa, mengapa bisa seperti ini?” tanyanya dalam hati.
Hanna mencoba masuk ke ruangan di mana Sungha di rawat, dan duduk di kursi tepat di samping Sungha “Sungha, bagaimana keadaanmu saat ini?” sambil memegang tangan Sungha yang dingin “Sungaha apakah kau mendengarku? Sunghaaaa jawab pertanyaanku, kau jelek seperti ini”
Ceklek… terdengar pintu terbuka
Hanna? ‘sapa Ibunda Sungha yang baru memasuki kamar dimana Sungha dirawat’
“ini sudah larut nak, sebaiknya kau pulang biar Ibu yang menjaganya” terangnya. “Baik bu, saya pamit pulang” jawab Hanna. Hanna bergegas dari kursinya untuk meninggalkan Sungha, belum membuka pintu Ibunda Sungha memberitahu sesuatu pada Hanna. “Mulai besok kau tidak usah repot-repot menjenguk Sungha lagi, karena besok ia harus menjalani terapi, dia akan dipindahkan ke sebuah panti yang menangani terapi untuk Sungha” Mendengar perkataan Ibunda Sungha, Hanna hanya bisa memejamkan mata dan saat itu juga air matanya jatuh. Kejadian ini membuat Hanna terpukul, jika saja ia tidak menyuruh Sungha untuk pulang duluan pasti kejadiannya tidak seperti ini.
Di perjalanan pulang hingga ia naik bus, Hanna hanya bisa menangis merenungkan kejadian hari ini. “Sungha, jika waktu bisa diputar pasti besok aku bisa melihat senyumanmu di sekolah” ungkapnya dalam hati.
Hingga pagi menjelang, saat di sekolah yang biasanya Hanna selalu terlihat ceria, hari ini ia terlihat sangat murung. Saat hendak memasuki kelasnya ia melihat Ayah Sungha sedang berbicara dengan wali kelasnya. Hal ini membuat Hanna ingin tahu apa yang Ayah sampaikan kapada wali kelasnya. Seketika Hanna menunggu, seseorang kakak kelas lewat bersama temannya dan membicarakan tentang Sungha, ternyata mereka mendengar perbincangan Ayah Sungha dengan wali kelasnya. “Kasihan ya Sungha, padahal dia anak yang sangat pintar dan berprestasi di kelasnya” kata salah seorang kakak kelas yang lewat, “yang kasihan tuh orang tuanya, sudah membesarkannya susah payah, eh malah terkena musibah seperti ini, mana Sungha anak satu-satunya” balas temannya.
Hanna yang penasaran, menghampiri dan menanyakan tentang Sungha.” Apakah kalian mendengar banyak tentang perbincangan Ayah Sungha dan Bapak guru?” Memang apa urusannya denganmu? ‘kata salah satu kakak kelasnya’ Derai air mata Hanna sudah tidak bisa dibendungnya, sesekali ia meneteskan air mata. “Aku mohon, (sambil bertekuk lutut) aku mohon beritahu aku. Apakah dia baik-baik saja atau apa. Aku ingin tahu keadaannya” pintanya.
“kenapa kau sangat memaksa dan ingin tahu, memangnya kau ini siapa?” lalu kakak kelas itu meninggalkan Hanna yang belum bangun, air matanya tiada henti-hentinya hingga tambah deras. Melihat hal itu, salah satu kakak kelas berbalik dan memberitahu semua yang didengarnya. “ Sungha akan dibawa ke daerah Itaewon, jika kau ingin tahu alamatnya coba kau tanya kepada wali kelasnya, dia akan mengikuti terapi sampai ia bisa sembuh total, entah seberapa parah sakitnya itu, dia akan mengikuti terapi sampai dia sembuh” jelas kakak kelas.
Dengan langkah lemas Hanna pulang sampai di rumah, pikirannya tak pernah lepas dari Sungha, langkah demi langkah kakinya menapaki anak tangga menuju kamarnya. Saat di kamar Hanna melihat foto dia bersama Sungha, di bingkai yang berwarna biru, warna kesukaan Hanna. Bingkai dan foto ini adalah hadiah ulang tahunnya dari Sungha, di dalam foto itu terlihat Sungha sedang memegang gitarnya bersama Hanna.
“Gitar ini pemberian Ibuku, dia yang paling mengerti kalau aku sangat suka main gitar dan mungkin karna arti namaku adalah ‘Gitar’ ” jelas Sungha. Di balik senar gitar milik Sung Ha tertulis nama Sung Ha Jung, memang gitar ini hadiah sepesial dari ibunya untuk Sungha. “kau tahu tidak?” kata Sungha sambil menunjukan namanya di gitarnya. “Di sini tertulis Sung Ha Jung, Sung berasal dari marga Ayahku, Jung adalah nama belakang Ibuku dan.” Dan Ha? ‘tanya Hanna penasaran’ Ha adalah Hanna, Kim Hanna, jelasnya “hah, aku? kau ini ada-ada saja” balas Hanna dengan senyuman kecilnya. “Walaupun kita kemungkinan bisa berpisah suatu saat nanti, tapi kita pasti akan bertemu kembali, karna Sung, Ha dan Jung akan selalu bersama, kalau tidak ada nama Ha disini namanya akan menjadi Sung Jung, maka dari itu kau jangan pernah pergi kemana-mana, agar namaku tetap Sung Ha Jung”. Hahahah mereka melepas tawa bersama.
“Sungha, ada apa ini? Mengapa bisa seperti ini? Benarkah kau itu? Benarkah kau cacat dan kemungkinan hilang ingatan? Sungha, mungkinkah kau akan lupa denganku?” Hanna tidak bisa menahan air matanya, hingga ia memeluk foto sambil memanggil nama Sungha.
Keesokan harinya, Hanna seperti biasa berangkat sekolah dan saat di sekolah ia meminta alamat kepada wali kelas dimana Sungha mengikuti terapi. “ Apa kau ingin menjenguk Sungha? daerah ini berada di luar kota, kau harus naik bus untuk mencapai ke sana” jelas guru yang memberikan alamat dimana Sungha mengikuti terapi. Tanpa seuntai kata pun Hanna mengucapkan terima kasih dan meninggalkan ruangan guru. Ia berencana ke tempat itu setelah pulang sekolah.
— saat pulang dan bergegas untuk ke halte bis
Pertama kalinya Hanna menggunakan transportasi bis, walaupun begitu ia tetap semangat dan ketika sampai di halte ia turun dan menanyakan alamatnya kepada orang sekitar. Rasa lelah di wajahnya sama sekali tidak terlihat, hingga ia sampai di tempat tujuan. “Saya ingin bertemu dengan pasien yang bernama Sung Ha Jung” tanyanya kepada receptsionist “Dia berada di lantai dua, kau hanya naik satu lantai saja” balas salah seorang receptsionist. Bangunana dimana Sungha menjalani terapi memang bukanlah seperti sebuah panti yang mewah, bangunan ini hanya memiliki jumlah dua lantai, dan di lantai dua dimana Sungha dirawat. Dengan memakai seragam sekolah dan tas punggung yang masih dirangkulnya Hanna mencoba mencari kamar Sungha. Satu pintu terlewatkan ia melihat seseorang yang cacat sedang diterapi, Hanna mencoba membuang pikiran negative tentang Sungha, pintu kedua dan ketiga, hingga sampai pintu yang terakhir ia mulai menghela nafas. “Permisi” ucapnya. “Ya” dari dalam seseorang membalas ucapannya. Tiga langkah yang ia ambil, ternyata berhenti sampai di langkah ke empat, pria yang sedang diterapi oleh dua orang, Hanna mencoba mengambil satu langkah lagi, dan tepat! Sungha sedang duduk sambil diterapi oleh dua orang perawat. “bolehkan saya menunggu sampai terapi ini selesai” tannya Hanna kepada dua orang perawat. “Apakah anda salah satu keluarga dari pasien ini? Tadi pagi Ayah dan Ibunya telah mengantarkan dia ke sini dan nanti malam kemungkian mereka akan mengambilnya kembali ke rumah” ungkap salah satu perawatnya. “ya” jawabnya.
Setelah terapi selesai, Hanna menghampiri Sungha yang masih terjaga sambil tiduran. Bibir Hanna gemetar, matanya mencoba menahan air mata yang tak bisa lagi terbendung, perlahan jatuh. “Sungha, apakah ini kau? Apakah benar ini adalah seseorang yang mempunyai gitar bernama Sung Ha Jung” ucapnya, perlahan kepala Sungha bergeser ke arah suara Hanna, matanya terbuka memperhatikan Hanna dan bibirnya tersenyum, pertanda ia bisa mendengar suara itu.
— kalo di sini penderita cacat yang seperti ini, sebenernya dia masih bisa mendengar pembicaraan dan mengerti apa yang dibicarakan, tapi dia tidak bisa untuk berbicara/ berbalas komunikasi secara langsung. So hal ini gua temui saat di panti asuhan deket sekolah, waktu itu gua pernah berkunjung ke sana. Dan orang ini yang menjadi inspirasi di cerpen gua ini, hehehe — (coffe break bentar, hehe )
Dua, tiga, empat, bahkan sampai ke sepuluh kalinya Hanna bolak-balik ke Itaewon sepulang sekolah, hanya untuk menjenguk Sungha. Sampai-sampai perawat semua di sini kenal padanya. Tapi kunjungan yang ke sebelas kalinya adalah kunjungan terakhir dan ucapan perpisahan Hanna kepada Sungha, ia sampai-sampai rela meninggalkan sekolahnya demi melihat Sungha untuk terakhir kalinya, walaupun sang Ayah sedang sibuk mengurus perpindahan sekolahnya.
Seperti biasa, ia masih mengenakan seragam sekolahnya. Terliahat di ruangan Sungha dirawat, gitar milik Sungha berada di samping tempat tidur Sungha. Nama Sung Ha Jung yang tertera di balik senar gitar terlihat jelas, lalu telapak tangan Hanna menutup nama ‘Ha’ menjadi Sung Jung “ Ini kan maksudmu, Sung Jung” tepisnya. Dan ternyata Hanna ingin pergi jauh dari Sungha.
Hanna mencoba mendekati Sungha yang sedang berbaring namun sadar, dan ia mulai memberikan penjelasan bahwa hari ini adalah kedatangann yang terakhir sekaligus salam perpisahan untuknya.
“Sungha, aku harap kau bisa mendengar ini, dan aku mohon dengan sangat kau memaafkanku” mula-mula Hanna menggenggam tangan Sungha “ Sungha, mungkin esok, lusa dan seterusnya aku tidak berada di sini lagi, aku tak bisa menjengukmu lagi, bahkan menunggu ibu dan ayahmu datang kembali baru aku pulang. Aku harus pergi ke London untuk melanjutkan sekolahku di sana, ini adalah permintaan ayahku, dan aku mana mungkin menolaknya. Sungha… di dalam doaku, namamu tak kan lupa ku sebut, agar kau bisa cepat sembuh dan tidak menghawatirkan orang lain lagi, agar suatu saat nanti kita masih bertemu, entah kapan dan dimana. Sunghaaaa, walaupun kau bisa melupakan diriku, tapi aku mohon dengan sangat jangan kau melupakan memori di saat kita bersama” ungkap Hanna. Seperti biasa, Hanna mengeluarkan air mata, dan tak disangka air mata Sungha juga perlahan jatuh mendengar perkataan Hanna. Seketika Hanna menghapus air mata Sungha. “Pasti kau mengerti apa yang aku katakan, sekarang aku pamit, semoga kau cepat sembuh dan kita bisa bertemu kembali nanti”. Sebelum pergi, tidak lupa Hanna memasukan sebuah kain rajutan ke dalam gitar melalui bolongan gitar, di kain tersebut ter dapat nama SUNG HANNA JUNG yang terjait dengan begitu bagusnya. Ketika menuju keluar, Hanna berbalik lagi dan mencium kening Sungha, “Selamat tinggal” ucap Hanna.
Kim Hanna pun, bergegas menuju ke rumah dan besok pagi buta ia berangkat menuju bandara untuk terbang ke London dan bersekolah di sana.
—– Ten Years Letter —
Hanna telah lulus dari bangku kuliah S2 di London 3 tahun yang lalu dan Sungha telah pulih dari cacatnya 7 tahun yang lalu dan selama 3 tahun ini ia mulai dilatih secara otodidak bagaimana ia harus beradaptasi. Walaupun ia terkena cacat saraf otak, tapi kemampuan untuk mengingat dan kepandaiannya masih ada.
Selama 3 tahun Hanna bekerja menjadi sekertaris perusahaan dimana pemilik perusahaan tersebut adalah ayah Sungha dan Ayah Sungha akan segera pensiun dan memberikan kepercayaan dan tanggung jawabnya kepada Sungha untuk melanjutkan bisnisnya.
Di ruang meeting, Ayah Sungha menjelaskan tentang rencana pensiunnya dan tentang kelanjutan bisnisnya. “ Saya, Sung Jae Yong akan memutuskan untuk pensiun bulan ini, dan bisnis ini, saya memberikan kepercayaan kepada anak kandung saya Sung Ha Jung atau sekarang namnya telah berganti yaitu Lee Yong Jung “Hallo perkenalkan saya Lee Young Jung, saya dipercaya untuk melanjutkan bisnis ayah saya. Mohon bimbingannya” itulah salam perkenalan Sungha pertama di depan orang banyak.
Tok, tok, tok.. maaf direktur saya terlambat “kata Sekretaris Luna. Sekretaris Luna adalah seorang Kim Hanna (masa lalu Sungha) semenjak kepindahannya ke London ia selalu menggunakan nama Inggrisnya, yaitu Luna Lerman.
“ya tidak apa sekretaris Luna, meeting ini hanya memperkenalkan pengganti saya, silahkan duduk kita akan mulai penjelasannya” jelas ayah Sungha
Hanna duduk di kursi yang berhadapan dengan Sungha (di sini Hanna tidak mengingat wajah Sungha karna sudah lama tidak melihat Sungha, begitu pula dengan Sungha)
“Baiklah, Lee Young Jung ini akan menggantikan saya, sebagai direktur dan jika dia melanggar peraturan yang ada, jangan segan-segan untuk melaporkannya kepada saya terlebih dahulu” begitulah penjelasan ayah Sungha. “Oh ya Lee, ini adalah sekretaris Luna dia akan menjadi sekretaris pribadimu” ungkap ayah Sungha “Sekretaris Luna mohon bimbingannya” pinta ayah Sungha. “Baik, direktur”.
Lama kelamaan, hubungan Hanna dengan Sungha sangat dekat, meskipun mereka adalah masa lalu dari mereka (pahamin dah situ kata-katanya, hehehe) mereka selalu terlihat bersama, sampai akhirnya Hanna diajak untuk makan malam bersama. Saat selesai meeting direktur Lee (Sungha) memanggil sekretaris Luna (Hanna) “ Sekretaris Luna, kita sudah lama saling kenal, saya mengundang anda untuk makan malam di Dong-a restaurant? bagaimana? (entah di Korea ada tu restaurant apa ga, hehe)” tanya direktur Lee yang langsung to do point. “Bagaimana ya direktur, sayyaaa..” belum selesai berbicara direktur Lee langsung mencetuskan “baikk, nanti malam jam 7 di Dong-a restaurant, ku tunggu kau di sana” direktur Lee bergegas pergi, dan sekretaris Luna mencoba untuk memanggilnya, namun diabaikan oleh direktur Lee. “Huh, bagaimana aku menyesuaikan bajunya, aku mana punya dress untuk makan malam, aku kan tidak suka mengenakan dress, memaksa sekali orang itu” gumamnya.
Saat malamnya, Hanna bingung ingin menggunakan baju apa. Satu per satu baju ia pilih, namun baju yang ia kenakan terlihat seperti ingin bermain dan bukan seperti makan malam dengan pria. Tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk mengenakan baju rok kodok dan memakai sepatu cats. Dengan taksi ia bergegas menuju ke Dong-a restaurant, dan menunggu direktur Lee.
Tibalah direktur Lee dan mencari sekretaris Luna “Sekretaris Luna, mengapa anda memakai pakaian seperti ini, seperti ingin bermain saja” tanya direktur Lee yang agak sedikit kecewa melihat penampilan sekretaris Luna. “ini kan hanya makan malam biasa, untuk apa aku berdandan” balasnya. Walaupun terlihat seperti itu, namun direktur Lee tersipu melihat kecantikan sekretaris Luna. “Apa kau tidak tahu bedanya kencan dengan makan malam” tiba-tiba direktur Lee keceplosan mengatakan hal itu kepada sekretaris Luna. “Apa katamu? Memangnya kita sedang kencan” tanya sekretaris Luna dengan bingungnya. “Maksudku makan malam bersama” kata direktur Lee yang salting karna hal tadi.
Selesai makan malam, mereka jalan-jalan menuju sungai Han. Sambil membawa minuman, Hanna meminta direktur Lee untuk duduk sebentar karna ia kelelahan. “Baiklah, kita duduk di kursi sana” kata direktur Lee. Sembari duduk direktur Lee menunjukan sabuah kain rajutan dan ternyata kain rajutan itu adalah pemberian dari Hanna waktu itu, di saat ia menderita cacat. “Kain rajutan ini kutemukan dalam gitarku (sambil membuka lebar rajutannya dan telihat nama Sung Hana Jung) di sini ada sebuah jahitan bertuliskan Sung Hana Jung “Mendengar perkataan sang direktur, sekretaris Luna yang sedang menyedot minumannya itu tiba-tiba berhenti sejenak dan kaget atas nama yang ia sebut dan melihat kain rajutannya. *flashback, saat Hanna memasukan kain rajutan ke dalam gitarnya Sungha. “Di gitar yang dibelakang senarnya bertuliskan namaku, Sung Ha Jung memang aku mendefinisikan Ha itu dengan nama seseorang yang sangat kucintai, yaitu Kim Hanna” Mula-mula direktur Lee menjelaskan masa lalunya yang masih ia ingat “Namun sekarang ia entah dimana, entah dia masih mengingatku atau tidak tapi ku harap dia sudah lupa denganku” ‘begitulah penjelasan direktur Lee’ suasana diam sementara, sekretaris Luna menahan kesedihan, namun karena penasaran sekretaris Luna menanyakan suatu hal tentang Kim Hanna atau dirinya sendiri “Memangnya kenapa jika ia masih mengingat engkau, direktur?” direktur menghela nafas dan menjelaskan alasannya. “Akuu.. aku takut hal ini akan menjadi beban untuknya karna dulu aku mempunyai masa-masa yang sangat pahit. Dulu sepuluh tahun yang lalu, aku menderita cacat saraf otak. “ Hah? ( sekretaris Luna kaget) cacat saraf otak?” “Yap, dia selalu mengunjungiku untuk membantuku dan para perawat yang susah payah merawatku, menunggu kesembuhanku yang butuh proses sangat lama, hingga akhirnya dia pergi untuk melanjutkan sekolahnya di London (satu tetes air mata, jatuh dari mata sang direktur) dia selalu berbicara padaku tentang apa yang terjadi di sekolah ketika ia menjengukku, yang memang aku sedikit-sedikit dapat menangkap pembicaraannya itu, dan itu membuatku sangat terhibur. Maka dari itu aku berharap dia bisa melupakanku seutuhnya, agar hal ini tidak menjadi beban baginya dan semoga saja dia sudah bahagia dengan orang yang ia cintai” begitulah penjelasan direktur Lee kepada sekretaris Luna tentang Kim Hanna “Huh bagaimana ini aku tidak bisa menahan air mataku” ucapnya, sambil tertawa dan mencoba menghapus air matanya. “Nih, untuk menghapus air matamu” sekretaris Luna menyodorkan tisu.
“Lalu, mengapa anda mengganti nama anda?” tanya sekretaris Luna. “Mungkin itu alasan utama ayahku mengganti namaku menjadi Lee Young Jung,untuk melupakan masa laluku tatapi tetap saja aku tidak bisa melupakannya. Huhh hari sudah malam sebaiknya kita pulang” ajak direktur Lee yang menyudahi perbincangannya tentang Kim Hanna” tangan direktur Lee mencoba meraih tangan sekretaris Luna dan sekretaris Luna kaget “ada apa?” tanyanya. “Agar kau tidak hilang, hehehe” jawab direktur Lee sambil menggandeng tangan kiri sekretaris Luna
Di apartemen sekretaris Luna, sekretaris Luna tidak bisa tidur dengan nyenyak, ia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh direktur Lee tadi. “Mengapa kau tidak ingin melihat Hanna kembali, jelas-jelas tepat di depan matamu tadi adalah seorang yang kau bicarakan, yaitu aku Kim Hanna *flashback waktu direktur Lee ngejelasin masa-masa bersama Kim Hanna di sungai Han. Akhirnya Hanna memutuskan untuk tidur dan tidak memikirkan hal itu lagi.
Keesokan harinya ketika sekretaris Luna hendak berangkat ke kantor, kejadian tidak disangka. Sekretaris Luna nyaris tertabrak mobil, namun keadaannya tidak parah dia hanya shock dan harus dibawa ke rumah sakit.
Di ruang rawat inap, sekretaris Luna sedang terbaring lemah dan tertidur. Direktur Lee menjenguk untuk mengetahui keadaan sekretaris Luna.
Tok tok tok, asisten direktur Lee mengetuk pintu. Ketika ia masuk, ia memberikan sebuah berkas kepada direktur Lee. Dan menjelaskan tentang latar belakang sekretaris Luna. Sambil membuka map dan membaca direktur Lee kaget , dengan apa yang ia baca dan apa yang asistenya utarakan. “Informasi ini kau dapat dari mana?” tanya direktur Lee, hingga berkas yang ia baca terhenti tepat diriwayat pendidikannya, dan direktur Lee membacanya denga serius. Ternyata sekretaris Luna adalah seorang Kim Hanna. Dia menggunakan nama inggrisnya, Luna Lerman ketika berada di London dan ia masih menggunakan nama inggrisnya saat sedang bekerja di korea. “Masih ada lagi direktur” kata asisitennya, lalu asisten direktur Lee menunjukan kain rajutan yang membungkus foto saat direktur Lee masih usia remaja dulu dengan Kim Hanna “Oh ya, foto ini. Bukankah ini foto direktur? Mengapa foto ini bisa sama précis dengan foto yang direktur pajang di meja dan foto ini bukankan masa saat direktur sekolah SMA dahulu” terangnya.
Direktur Lee kaget, bahwa yang selama ini bersamanya adalah seorang yang ia rindukan keberadaannya. Lalu direktur Lee meraih tangan Hanna, dan mencoba memanggil Hanna. “Kim Hanna, apakah benar engkau Kim Hanna, seseorang di masa lalu ku? Tolonglah ku mohon sadarlah” pintanya. Tangan Kim Hanna bergerak, dan takdir memang ada pada mereka berdua. Kim Hanna pun sadar, mendengar suara memanggilnya. “Hanna, apakah kau masih mengingatku?” tanya direktur Lee kepada Hanna. Hanna hanya mengangguk tersenyum yang artinya ia masih mengenal Sungha.
Dua hari setelah Kim Hanna sadar, ia diperbolehkan pulang. Dijemput oleh direktur Lee (sungha), Hanna diajak ke taman dimana mereka pertama kali mengabil foto berdua. Dan di tempat dekat dengan danau dan bunga sakuranya. “Mengapa kau tidak bilang dari dulu, bahwa kau adalah Kim Hanna?” tanya Sungha. “Bukankah, kau tidak ingin mengingatnya lagi?” jawaban yang keluar dari mulut Hanna tapi direktur Lee (Sungha) segera menepisnya “Kau ini, bodoh atau apa? Ohhh ternyata kau yang membebani pikiranku. Huh dulu mengapa aku sangat kawatir jika Hanna akan terbebani karna diriku” tidak terima ucapan Sungha Kim Hanna marah “ Hei kau, aku ini baru keluar dari rumah sakit, seengganya kau memeberikan aku hadiah”. “Keluar dari rumah sakit kau masih minta hadiah, tapi yasudah gitar ini kuberikan padamu” lalu Sungha memberikan gitarnya yang ternyata di senar dekat dengan namanya ada sepasang cincin putih. “Apa ini?” tanya Hanna bingung. “Itu cincin, kau ini! Sekolah di London bukannya semakin pintar (suasana hening ) Menikahlah denganku, dan jangan pernah menghilang dariku lagi” tepisnya. “Hanya bilang ‘Menikahlah denganku ‘saja kau harus marah-marah terlebih dahulu” jelas Hanna yang tidak terima atas kemarahan Sungha tadi. “Kau terima tidak, kalau tidak… kalau tidak, yaa jangan deh, kau pasti akan terima. Yak an? Terima yaa, oke?” (pemaksaan) “Hmmm, maafff tidakk… tidak bisa ku tolak” balas Kim Hanna. Lalu Sungha memakaikan cincin di jari manis Hanna, begitu juga Hanna yang memakaikan cincin di jari manis Sungha.
In My Guitar –The End—
Cerpen Karangan: Tri Handini Dian Sukamdani
Blog: myselfmyjournalist.blogspot.com
Facebook: Dini Trihan Liverpudlian

Rabu, 09 Mei 2012

Sebuah Kisah



Karya: Linisa

Lantana camara jika bunga
Berwujud indah, meski tak bernama
Penuh warna,dalam setiap musimnya
Tersenyum, terpukau akan terangnya sinar
Sinar penunjuk kuasanya, penerang awaknya

Lantana camara jika bunga
Aku bercerita, tentangnya
Tentangku,kepadamu
Ada rasa ada iba yang sama
Tiada raga, tiada beda antara kita

Lantana camara jika bunga
Bersemi, kau temukan seberkas cahaya
Cahaya yang membuatmu bermekaran
Mengalun terbawa angin dalam senyuman
Musim ini, musim yang cepat berlalu
Cepat berlalu, namun terlalu cepat untuk kau kenang


Lantana camara jika bunga
Hangat, kau rasakan ego cahaya
Meresap rata dalam raga hingga rasa
Kehangatan yang terlalu, terlalu menyiksa
Hingga kau butuh air, meski yang kau tahu hnay air mata.

Lantana camara jika bunga
Sejenak, kau rasakan angin berlalu
Dating tetesan dalam ribuan titik
Menghampirimu meski tak berpesan
Mengagumimu meski dalam diam
Menemanimu meski hanya untuk sesaat

Lantana camara jika bunga
Berguguran, gugur dalam sebuah perasaan
Melayukan lembar-lembar kecil hidupmu
Menerbangkan kenangan itu,cerita itu
Berjatuhan,jatuh dalam kisah yang gamang
Karena kini, cahaya itu
Cahaya itu hadir dalam warna yang berbeda

Lantana camara jika bunga
Kedinginan,tak ada lagi kehangatan
Cahayan itu hilang, hilang dengan begitu tenang
Kesepian, tak ada lagi tetesan itu
Tetesan itu hilang, hilang masih tanpa pesan

Lantana camara jika bunga
Perlahan, kau lihat dia datang
Itu dia, tetesan –tetesan, tapi bukan tetesan yang dulu
Tetesan ini dating dalam diam,tapi ia punya pesan
Ia akan menemanimu sampai kau melihat cahaya yang baru.

Memilikimu, ceritamu di dalam ceritaku



Saat memejamkan mata, aku membayangkan surge bahagia saat di cintaimu, juga saat  mencintaimu. Semuanya terasa begitu indah, terasa sempurna. Seperti  cerita cinta sepanjang masa, aku bersyukur takdir membuatku jatuh cinta padamu.

Namun,semakin lama mata ini terpejam, air mata malah jatuh perlahan-lahan. Aku menangis, kini teringat setiap perih yang ditorehkan dustamu di hatiku. Tak  sekali-dua kali aku mencoba membuat pembenaran, menciptakan alas an bahwa kau mungkin tak bersungguh-sungguh melikaiku.
Kau bahkan tak mencoba membela dirimu.
Kau menundukan kepala, membisu.

Dan kini, lihat, aku menertawakan diriku sendiri.
Betapa ironisnya hidup ini, sayangku.
Kau yang selalu bias membuatku tertawa justru yang paling bias membuatku menangis…..

Hujan Punya Cerita tentang Kita




Jatuh cinta kepadamu begitu menyenangakan, seperti meringkuk dalam selimut hangat pada malam yang hujan. Seperti menemukan keping terakhir puzzle yang sedang kau susun. Cinta ini sudah berada di tempat yang seharusnya, di ruang hatimu dan hatiku.

Namun, mengapa resah justru yang merajai kita?
Padahal, katanya cinta sanggup menjaga. Aku ingin kau tahu,diam-diam,aku selalu menitipkan harapan yang sama ke dalam beribu-ribu rintik hujan:
aku ingin hari depanku selalu bersamamu.

Aku mencintaimu . Selalu.
Dan, mereka tak perlu tahu.... 

Kamis, 08 Maret 2012

CINTAKU TERPISAHKAN OLEH LEUKIMIA Cerpen Rizky Nika Irawan




“apa kamu serius ky mau pindah ke kalimantan? Kamu tega tah ninggalin aku disini”
“maafin aku mel, tapi aku benar-benar harus pergi”

Kesedihan terpancar di raut muka ku ketika aku melihat rafky pergi meninggalkan ku menggunakan sebuah mobil tua berwarna merah, tak ku sangka orang yang selama ini ada disaat aku butuhkan akan pergi meninggalkan ku,
Selama satu tahun setelah kepergian rafky aku menjadi pendiam, dan setiap malam aku hanya melamun dan memandang ke luar jendela kamarku, aku mengingat ketika dulu aku selalu bersama dengan rafky
saat itu usia ku masih 15 tahun dan aku masih duduk di kelas 1 sma, hari itu gak akan pernah aku lupakan.. dimana aku jadian dengan rafky..

FLASH BACK
Aku dan rafky adalah sahabat dari kecil, sejak bayi kami sudah tinggal bersebelahan rumah, kemana-kemana kami selalu pergi bersama, hingga teman-teman di sekolah kami memanggil kami sahabat kembar, aku tidak tau dari kapan teman-teman kami memberi jilukan itu kepada kami, tapi yg jelas julukan itu sudah ada dari sejak kami kelas 2 sd hingga sekarang, dan kami menyukai julukan itu..
Pagi itu cuaca mendung
“mel, melan!” teriak rafky di depan rumahku
“kenapa?” jawabku dari jendela kamarku
“cepet keluar, aku mau ngajakin kamu ke rumah ardi”
“mau ngapain kesana?”
“udah ikut aja bawel”
aku keluar rumah dan menghampiri rafky yg tengah menunggu ku di depan rumah menggunakan motor matic berwarna biru miliknya... selama dijalan rafky terlihat berbeda dengan hari-hari biasanya, dia adalah orang yang crewet, namun saat itu dia terlihat begitu berbeda, mukanya terlihat pucat dan gugup..
“kamu knp ky?” kataku pada rafky

Rafky tidak menjawab pertanyaan ku dan hanya menggelengkan kepala. Apa yang sebenarnya terjadi pada rafky? Aku sangat bingung ketika itu, tidak lama kemudian dia berhenti di sebuah taman dan menyuruhku untuk turun.
“kenapa berhenti disini ky? Tingkahmu itu bikin aku bingung”  tanya ku kesal kepada rafky
“lihat kebelakang mel” jawab rafky santai

Aku terkejut ketika aku memalingkan badan ku ke arah belakang, dan disana aku melihat taman indah dengan rangkaian bunga mawar yg dirangkai sedemikian rupa hingga tertulis I LOVE U di tengah taman itu,
“hah? Apa ini ky?”
“ih dodol, masak enggak ngerti si sama maksud aku?  Jawab rafky sambil mencubit kedua pipiku
“seriusan aku gak ngerti ky”
“oke-oke, aku jawab pertanyaan kamu.. mel, ak itu sayang sama kamu”
“so?”
“dasar bawel,kamu mau gak jadi pacar aku?” tanya rafky serius
“mau gak ya? Hmm... ak mau ky” jawabku dengan pasti
“serius mel?”
“mmm... he’em..”

Ketika kami akan meninggalkan taman, tiba-tiba hujan turun dengan deras nya seakan tidak menginginkan kami meninggalkan taman itu.. kami meneduh di bawah salah satu gazebo yang ada di taman itu.. hujan tidak kunjung reda, sehingga kami pun lama di taman itu.. rafky menyanyikan sebuah lagu untukku, lagu yang menggambarkan perasaannya pada ku pada saat itu..

Tanggal 13 Oktober 2009 tepat ketika aku berulang tahun yang ke 15 itulah dia menembakku, aku tidak akan pernah melupakan satu detik pun kenangan itu.. Semenjak hari itu hidup aku terasa berbeda dan menjadi lebih indah, refky selalu membuat aku tersenyum ketika bersamanya, setiap pagi dia selalu menaruh setangkai bunga mawar merah di depan pintu rumahku, di sekolah pun dia juga selalu memberi kejutan yang berbeda-beda setiap harinya.

Satu tahun setelah kami berpacaran aku terkejut ketika rafky berkata padaku bahwa dia akan pindah ke kalimantan untuk melanjutkan sekolah disana, saat itu kami sedang makan di kantin sekolah, dia menatapku seakan tidak ingin memalingkan pandangan nya dari wajahku
“mel,.” panggil rafky
“kenapa ky?” jawabku sambil tersenyum
“gimana kalok misalkan aku pergi jauh ninggalin kamu, apa kamu bakalan kangen sama aku? Ucap rafky serius
“maksud kamu apa ky? Kamu mau ninggalin aku?”
“mel, besok ayahku akan di pindah tugasin ke kalimantan sama atasan nya”
“kamu serius ky? Gak usah bercanda geh ky, gak lucu ah”
“apa muka aku kelihatan lg bercanda mel?”

Pada saat itu aku tidak sanggup menjawab petanyaan dari rafky, aku berlari pergi meninggalkan meja dimana aku duduk dengan rafky... rafky memanggilku dan mengejarku namun aku tetap tidak mau berhenti. Aku masuk ke kelas dan disana aku menangis, kiki salah satu sahabatku melihatku menangis dan ia datang menghampiriku dan bertanya padaku,
“kamu kenapa mel?” tanya kiki
“gak papa ki”
“gak mungkin kamu nangis kalok gak ada sesuatu yang terjadi sama kamu”

Kiki bingung kenapa aku menangis, pada saat itu rafky datang dan menjelaskan semua pada kiki... rafky menyuruh kiki untuk meninggalkan kami berdua di kelas, rafky meminta maaf kepada ku tentang masalah di kantin tadi, aku yang sedang emosi dan masih belum bisa menerima kenyataan itu akhirnya menyuruh rafky meninggalkan ku di kelas...
Dan keesokan hari nya, rafky dan keluarganya benar-benar serius pindah ke kalimantan
Usia ku kini telah menginjak 17 tahun, sejak kepergian rafky dia tidak pernah mengirimi ku kabar sama sekali, apa mungkin rafky sudah melupakan ku? Aku tidak pernah tau sekarang dia tinggal dimana..

Disaat aku sedang asyik melamun dan melihat bintang-bintang  di langit tiba-tiba seseorang mengaget kan ku dari belakang,
“hey !!” tegur shifa
“eh fa, kamu ngagetin aja, sama siapa kesini?” jawabku
“sama temen-tmen mel, mereka ada di ruang tamu, tadi ibu kamu nyuruh aku masuk ke kamar kamu buat manggil kamu”
“oh, suruh aja mereka masuk kesini, aku lg males ni mau keluar kamar”
“kamu itu kapan mel eggk males, selalu jawab kayak gitu, udahlah kamu itu jangan mikirin rafky terus, pikirin tu si dany, kurang apa si dia? Dia itu baik sama kamu, perhatian, tapi kenapa kamu gak pernah mau nanggepin dia?
“gak papa fa, aku belum bisa buka hati buat cowok laen,”
“kapan kamu bisa lupa sama rafky kalok kamu setiap hari Cuma ngurung diri di kamar dan enggak pernah mau bergaul di luar rumh” sahut kiki
“benr itu yang di bilang sma kiki mel,” timpal anis
“kalian ini, bisa aja kalok ngomong.. belum saat nya buka hati buat cowok laen”
“mel, kapan kamu itu bisa buka hati buat cowok laen? Sedangkan setiap ada cowok yang suka sama kamu dan mau deketin kamu, kamu selalu bilang sama mereka kalok kamu belum bisa buka hati buat mereka” bentak shifa
“kamu bener  fa, aku bodoh.. rafky gak pernah minta aku nungguin dia sampek dia kembali kesini lagi” ucap ku sambil meneteskan air mata
“mel, apa mungkin rafky itu kembali kesini lagi? Itu gak mungkin, kalok dia emang bakal kembali ke sini lagi dia pasti bakalan bilang sama kamu sebelum dia pergi?” kata shifa menasehatiku

Malam ini teman-teman ku akan menginap dirumahku, ketika kami sedang asyik mengobrol hp ku tiba-tiba berbunyi, aku tidak tau siapa yg menelpon dan aku langsung mengangkatnya
“halo, dengan siapa ya, ?”tanya ku pada org tersebut

Setelah lama aku menunggu dan orang tersebut tidak menjawab sapaan ku aku mengulangi nya lagi
“siapa ini?”

Karna lama tidak menjawab akhirnya aku matikan telpon nya,
“siapa mel yg menelpon?” tanya kiki
“gak tau ki, sama dia enggak di jawab, mungkin SB” jawab ku meledek
“apa itu SB mel?”
“salah sambung,” jawabku tersenyum,

Tidak lama kemudian nomer yg tadi menelpon lagi, kali ini aku berikan hp nya kepada kiki, aku menyuruh kiki untuk mengangkat nya.. namun kiki tidak mau, akhirnya shifa menawarkan diri untuk mengangkatnya
“halo, ini siapa ya?” tanya shifa dengan lembut
“bisakah aku bicara dengan melan?” jawab penelpon itu
“bisa, emang ini siapa?” tanya shifa kembali..
“ini teman nya,” kembali penelpon itu menjawab

Kemudian shifa memberikan hp itu kepadaku, namun disaat aku bertanya kepada penelpon itu dia hanya diam saja dan tidak mau menjawab pertanyaanku sama sekali, aku sangat marah dengan orang itu dan aku mematikan telpon nya,.. aku non-aktifkan hp ku dan menaruhnya di atas meja
“kenapa mel? Tanya anis
“gila emang dia itu, dari tadi aku ngomong enggak di jawab sama sekali, emang tadi itu siapa si fa?” tanya ku pada shifa.
“aku gak tau mel, dia Cuma bilang kalok dia itu temen kamu,” jawab shifa bingung
“cewek apa cowok?”
“cowok mel,”
“udahlah lupain aja, aku ngantuk mau tidur.. kalian udah ngantuk belum? Udah jam 11 tu”
“kalian tdur duluan aja kalok udah ngantuk, aku mau chatting-an dulu sama pacar aku, boleh aku pinjem hp kamu mel?” kata shifa
“boleh, ambil aja tu di atas meja”

Mentari pagi mulai menampakkan diri dan menggantikan bulan menghiasi langit.. terdengar dari luar kamar ku suara ibu membangunkan ku dan sahabat-sahabat ku, tak lama kemudian aku terbangun dan membuka pintu menghampiri ibu ku yang sedang berdiri di depan pintu kamar..
“hari ini kamu libur sekolah kan, kamu jaga rumah ibu dan ayah mau pergi menjenguk paman mu di rumah sakit, tadi malam paman masuk rumah sakit” kata ibu...
“iya bu, hati-hati ya.. ini kan masih pagi kenapa ibu buru-buru pergi? Jawabku kepada ibu
“tidak apa-apa mel, kasihan bude sendirian nemenin paman di rumah sakit, ibu sudah siapkan sarapan untuk kalian di meja makan,”
“iya bu,”
“tante pergi dulu ya, tante titip melan..” kata ibu kepada teman-temanku
“iya tante,” jawab anis

Aku berjalan di belakang ibu mengantarkan nya sampai di depan pintu rumah, pada saat aku berdiri di depan rumah aku tiba-tiba ingat dengan rafky, aku rindu dengan dia, aku berharap pagi ini akan ada setangkai bunga mawar tergeletak di depan pintu rumah ku, namun itu hanya angan-angan yang tidak mungkin akan terwujud... aku menutup pintu rumah lalu masuk ke dalam kamar dan menemui sahabat-sahabatku yang sedang berbaring di atas tempat tidurku, aku melihat keluar jendela, aku ingat masa-masa dulu ketika rafky masih disini bersamaku... cuaca hari ini benar-benar persis ketika aku jadian dengan rafky dulu, mendung dan tenang, aku melihat keluar jendela dan melihat langit, aku harap hari ini akan turun hujan... besok adalah 2 tahun aku jadian sama rafky, apa dia masih ingat tanggal itu? Tanyaku dlm hati dan tanpa aku sadar aku telah meneteskan air mata..
“mel, kamu kenapa?” tanya sahabat-sahabatku,
“aku ingat sama rafky, hari ini mirip banget sama hari dimana aku jadian sama dia” jawabku sambil menangis
“mel, aku yakin rafky disana juga masih ingat kalok besok adalah 2tahun kalian jadian” ucap shifa sambil mengelus punggungku
“kamu tau dari mana kalok dia inget tentang besok” tanya ku penasaran
“firasat aku bilang kayak gitu mel, oh iya, tadi malam dany sms aku, dia bilang hari ini mau ngajakin kamu maen, kamu mau gak mel?”
“udah mau aja lo mel, buat menghibur diri kamu yang lg sedih” sahut anis
“bilang aja sama dany nanti jam 11 suruh jemput” jawabku
“kamu serius mau mel?”
“iya fa, aku mau... tapi kalian jagain rumahku ya, jangan pergi kemana-kemana”
“oke’’ bisa di atur say”

Mungkin memang benar kata sahabat-sahabat ku kalok aku itu butuh refreshing agar bisa menenangkan pikiran dan melupakan semua masalah yang ada dalam hidupku, aku harus bisa membuka diri untuk laki-laki lain.. jam menunjukkan pukul 6.30 tepat, aku dan sahabat-sahabatku pergi ke dapur untuk sarapan pagi, ibu memasak semur jamur kesukaan ku dan rafky semasa kami masih duduk di bangku smp dulu, aku hanya tersenyum melihat masakan itu.. setelah selesai sarapan kami langsung membereskan rumah dan setelah itu kami menonton tv di ruang keluarga, ketika kami sedang asyik menonton tv, hp shifa berbunyi dan ia pergi menjauh dari kami untuk mengangkat telpon seakan tidak mau kami tau siapa yang menelpon nya.. shifa membuka pintu depan rumah dan keluar, tidak lama kemudian shifa masuk kembali kedalam rumah, dan kembali menonton tv bersama kami lagi...
Tidak terasa jam kini telah menunjukkan pukul 10.15, kemudian aku bersiap-siap untuk pergi jalan-jalan bersama dany...
“good luck ya friend,” kata shifa dengan tersenyum ke arahku
“oke fa,” jawabku

Shifa tersenyum melihat kearahku, aku tidak ingin membuat sahabat-sahabatku selalu sedih jika mereka melihat keadaanku yang seperti ini terus, aku ingin membuat mereka semua bahagia, setelah aku selesai menyiapkan semuanya, aku berdiri di depan kaca dan berkata
“aku harus bisa membahagiakan semua orang yang sayang sama aku”

Kemudian aku berjalan menuju ruang keluarga dimana sahabat-sahabatku sedang menonton tv, aku menghampiri mereka dan tersenyum lalu berkata
“doa’in hari ini aku sukses ya,”
“kamu pasti bisa kalok kamu mau berusaha mel,” kata shifa
“iya, pasti aku bisa teman-teman”
“aku nungguin dika diluar aja ya fa,”
“iya mel...”
“bye-bye friend”
“bye”

Saat aku membuka pintu, begitu terkejut nya aku ketika melihat setangkai bunga mawar merah tergletak di depan pintu rumah ku... aku menangis dan mengambil bunga itu, aku kembali lagi masuk ke dalam ruang keluarga, di depan shifa, kiki, dan anis aku menunjukkan bunga mawar itu ke arah mereka dan menangis sekuat yang aku bisa, rasa rindu ku yang selama ini aku pendam di dalam hati benar-benar tidak bisa aku simpan lagi, disana mereka langsung memelukku dan ikut menangis seakan mereka merasakan perasaan yang sedang aku rasakan saat ini...
“siapa orang yang menaruh mawar ini di depan pintu?” tanya ku sambil menangis,

Tak ada satupun yang menjawab pertanyaanku tersebut, aku mencoba menahan air mata ku yang terus mengalir di pipiku,
Tin....tin...tin...
Terdengar suara klakson motor dari luar rumah
“itu mungkin dany mel, kamu samperin aja dia” kata anis memberi tahu

Aku langsung lari keluar menghampiri dany dan menanyakan mengenai bunga mawar yang tergeletak di depan pintu rumah ku itu...
“dan, apa kamu tadi yang narok bunga mawar di depan rumah aku?” tanyaku dengan penuh tanda tanya di dalam hati
“bukan mel, emang kenapa?” balik dany mengajukan pertanyaan kepadaku..
“gak papa dan, ya udahlah lupain aja, kamu mau ngajak aku kemana?”
“oh... udah kamu ikut aja, nanti kamu bakal tau sendiri”

Aku hanya tersenyum dan memandangi wajah dany,
“udah to mel, ikut aja, aku tau saat ini kamu belum bisa buka hati buat aku, aku gak akan paksain kamu kok mel” kata dany padaku
“maaf dan, bukan gitu maksud aku,”
“iya mel, gak papa, ya udah ayok naik”

Begitu lama kami menelusuri jalan yang entah kemana dani akan membawaku pergi, 2 jam perjalan akhirnya dani memberhentikan motornya dan memarkirkan nya di sebuah rumah sakit swasta yang bisa di bilang rumah sakit exclusive, aku tidak mengerti kenapa dany mengajakku kesini...  dany mengajakku memasuki rumah sakit dan melangkah melalui koridor-koridor rumah sakit tersebut, aku membaca di atas dinding tertulis ruang penyakit kanker dan kami berhenti di salah satu ruang bernama ruang mawar nomer 13, aku semakin bingung dengan dani, apa yang sebenarnya akan dany tunjukkan kepada ku, aku menarik tangan dany ketika ia hendak membuka pintu ruang kamar tersebut, dany menoleh dan tersenyum ke arahku... ketika dany membuka pintu ruang kamar tersebut dia menyuruhku untuk masuk duluan ke dalam, aku hanya menurut dengan perintah dany, aku kaget ketika melihat kedua orang tua ku ada di dalamnya, dan disitu juga aku melihat orang tua rafky, aku semakin bingung dengan keadaan ini.. ketika aku melihat ke sudut kamar yang lebar itu aku melihat seorang pria terbaring tak berdaya di atas tempat tidur, aku seperti tidak asing dengan pria itu tapi siapa aku belum tau pasti, aku mencoba mendekatinya dan betapa terkejutnya aku ketika melihat dan mengetahui siapa pria yang ada di atas tempat tidur itu, ternyata pria itu adalah rafky orang yang selama ini aku tunggu-tunggu kedatangan nya... tanpa basa basi aku langsung memeluk tubuh nya dengan erat, aku menangis dan masih belum mengerti dengan semua ini, namun rafky hanya tersenyum melihatku
“ky, aku kangen banget sama kamu, kenapa kamu gak pernah kasih aku kabar? Apa kamu udah lupa sama aku? ” tanya ku dengan rasa rindu yang sudah memuncak
“aku juga kangen sama kamu bawel, kamu apa kabar? Tambah cantik aja sekarang, aku gak mungkin mel lupa sama kamu” jawab rafky
“terus kenapa kamu gak kasih aku kabar? Kamu bilang kamu ke kalimantan, tapi kok masih disini?”

Semua orang diruangan itu keluar meninggalkan aku dan rafky berdua disini, rafky pun mulai menjelaskan semua yang terjadi kepada ku dan betapa terkejut nya aku ketika ia bilang bahwa ia menderita penyakit leukimia stadium akhir, aku menangis di depan rafky dan dia menyuruhku agar tidak menangis karna itu hanya akan membuatnya bersedih,
“kamu bo’ong kan ky? Kamu enggak serius kan?” tanya ku memastikan semua perkataan nya
“enggak mel, aku serius, kamu dari dulu enggak pernah berubah ya, selalu aja enggak pernah mau percaya sama aku”
“gimana aku bisa percaya jika semua ini terjadi sama kamu ky,”
“selama 1 tahun ini aku selalu memperhatikan perkembanganmu, aku sedih ketika mendengar dari ayah sama ibu kamu kalok kamu sekarang menjadi wanita yang pendiam mel, dulu waktu aku pertama kali mendengar kalok aku menderita penyakit leukimia aku sama kayak kamu mel, aku syok banget, makannya aku memutuskan untuk pergi meninggalkan kamu agar kamu tidak terlalu menderita dengan penyakit aku ini. cukup aku aja yang menderita mel, dokter bilang umur aku sudah tidak lama lagi mel..”
aku mengerti dengan sifat rafky dan semua yang dia pikirkan, aku tidak ingin membuatnya semakin sedih karna melihatku menangis, aku ingin membuat hari-hari terakhir rafky menjadi lebih indah...
shifa, kiki, dan anis masuk ke dalam ruang dimana aku dan rafky berada di dalamnya, mereka mengejutkanku, shifa menjelaskan semuanya kepada ku bahwa orang yang menelpon ku tadi malam itu adalah rafky, bunga mawar itu juga dari rafky, dari tadi malam ternyata rafky, shifa, dan dany sudah menyiapkan semua ini untuk ku...
anis, kiki dan aku terkejut mendengar semua ini...
“mel, aku pengen pergi ke taman dimana kita dulu jadian,” pinta rafky
“iya ky, aku akan bawa kamu kesana” jawabku

Ayah rafky dan ayahku memapah rafky masuk ke dalam mobil sedangkan aku membawa kan kursi roda untuk rafky, badan rafky terlihat begitu kurus dan lemah, aku sangat sedih melihat penderitaan yang di hadapi oleh rafky, namun aku hanya dapat tersenyum untuk menghiburnya.. tak lama kemudian kami sampai di taman, aku mendorong rafky menggunakan kursi roda, ketika aku akan mendorong kursi roda, rafky memegang tanganku dan menyuruh dany yang mendorong kursi rodanya, seluruh keluarga ku dan keluarga rafky serta sahabat-sahabatku melihat kami bertiga dengan tersenyum.. rafky meminta dany membawanya ke gazebo yang dulu aku gunakan untuk berteduh dari hujan dengan rafky... disana dany meninggalkan kami berdua, rafky menyanyikan lagu yang dulu ia pernah nyanyikan untuk ku, aku hanya bisa menangis, kemudian rafky menghapus air mata yang mengalir dipipiku dengan kedua tangan nya...
“aku tidak mau melihat air matamu mel” kata rafky

Setelah lama kami mengobrol disana rafky menyuruhku untuk memanggil dany,, aku pergi meninggalkan rafky untuk mencari dany, saat aku sudah bertemu dengan dany, aku memeluknya lalu menangis di dalam dekapan dany ..
“aku gak kuat ngadepin semua ini dan, aku udah lama nungguin rafky kembali sama aku, tapi kenapa disaat rafky kembali semuanya menjadi seperti ini dan?” ucapku sambil menangis di dalam pelukan dany
“udah mel, kamu yang sabar aja ya, semua ini sudah ada yang mengaturnya” jawab dany

Dany melepaskan ku dari pelukannya dan mengajakku untuk menemui rafky, dari kejauhan aku melihat rafky meneteskan air mata, namun rafky langsung megusap air matanya seakan ia tidak ingin aku dan dany melihat kesedihan yang terpancar di raut mukanya...
“dan, apa kamu mau menjaga melan setelah aku pergi nanti?” pinta rafky kepada dany
“kamu itu ngomong apa ky, aku yakin kamu akan sembuh” jawab dany
“enggak dan, aku gak akan sembuh”
“kamu adalah satu-satu nya orang yang berhak dan pantas menjaga melan ky,”
“bukan aku, tapi kamu dan, aku serahin semua sama kamu, aku yakin kamu bisa gantiin aku menjaga melan” jawab rafky pada dany
“mel, aku sayang sama kamu, aku harap kamu bisa hidup bahagia dengan dany tanpa aku disisi kamu lagi..” kata rafky padaku

Aku hanya bisa menangis mendengar semua itu, rafky menarik tangan dany dan menaruhnya di atas tangan ku seakan ia ingin agar aku bersama dengan dany, pada saat itu tangan rafky yang sedang menggenggam tanganku dan dany tiba-tiba terjatuh diatas pangkuan nya dan matanya tertutup untuk selamanya... aku menangis dan kemudian memeluk tubuh rafky yang sudah terbujur kaku di atas kursi roda itu... aku tidak menyangka bahwa rafky akan meninggalkan ku untuk yang kedua kali nya dan kali ini ia tidak akan pernah kembali kepada ku lagi untuk selama-lamanya.,,

TAMAT

sumber : www.lokerseni.web.id 

DILEMA(Awal Sebuah Pilihan : Sahabat dan Cinta)


Aku masih terpaku menatap lekat-lekat sosoknya.Seorang gadis yang sebaya denganku, yang telah cukup lama menjadi teman akrabku.Aku pun hampir tidak mengingat, bagaimana kami bisa saling mengenal dan berlanjut menjadi seorang sahabat.Ya, sahabat. Sesuatu yang spesial bagi tidak sedikit orang.Sosok yang selalu ada saat kau jatuh hingga kau telah berada di atas angin.

Keisya.Merupakan panggilan akrab untuknya.Dikatakan dewasa, dia sungguh kekanak-kanakan.Disebut penyabar, tidak selalu seperti itu keadaannya. Namun entah karena hal apa aku sanggup berlama-lama di dekatnya. Waktu satu jam bukan lagi waktu yang cukup memuaskan bagi kami untuk saling bercerita dan berkeluh kesah. Mulai dari segala hal yang sedih, aneh, lucu, keren menurut versi kami, dan banyak lagi hal-hal tak penting yang kami bahas.
‘Sahabat Selamanya’

Sekiranya itu adalah ikrar setia kami untuk terus bersama hingga tangan Tuhanlah yang memisahkan. Jika kalian pernah membaca sebuah novel Firefly Lane karya Kristin Hannah, kalian pasti akan menemukan dua tokoh yang telah membuktikan kesetiaan janji mereka. Janji untuk bersahabat selamanya.Terlalu berlebihan memang, jika kami harus disejajarkan dengan kedua tokoh istimewa itu, Tully dan Kate. Namun, dalam segala situasi yang penuh dengan kecambuk akan kelabilan ego kami masing-masing, kami mencoba untuk bisa memenuhi janji kami sabagai sahabat selamanya.

Hingga semua itu berubah keadaannya.Terjadi begitu saja.Dan berhasil menghancurkan semuanya dalam sekejap.Tepat di pertengahan Oktober lalu, semua itu kepahitan berawal dan sebuah hubungan yang erat pun berakhir.Penghianatan.Sebuah kata kunci yang terasa pantas untuk disandang.
*******

“Sya,…….”. tiba-tibaKeisya datang padaku dengan berderai air mata. Seperti biasa, ia meletakkan kepalanya di pundakku.
“Ada apa, Kei? Cerita aja, nggak usah kaya begini lah”.
“Kak,….”. ucapnya menggantung. Tampak keraguan darinya untuk bicara.
“Iya, Dik… Ada apa?”
“Dia jahat, Kak… -hikshikshiks L-“, ucapnya terisak.
“Maksudmu?”
“Farhan mutusin aku, Kak”.
“Apa?Bagaimana bisa?Awas aja kalau aku ketemu ama dia. Huh!” seruku geram penuh umpat pada Farhan.“Memang apa yang sudah terjadi?Kalian bertengkar?”
Keisya hanya terdiam.Isaknya terdengar makin dalam.Makin perih menusuk relung batinnya.“Baiklah, kalau kamu nggak bisa cerita nggak apa-apa.Tapi ingat ya, aku selalu ada buat kamu”, ucapku berusaha menghiburnya.
“…. J….”. ia hanya tersenyum dan menatapku mendalam. “Terimakasih Rasya. Terimakasih”, ucapnya diiringi dengan jatuhnya bulir-bulir bening pada pipinya.
“Yang penting kau bahagia, Dik. Bukankah kita akan menjadi sahabat selamanya?”.
“Untuk sahabat sejati selamanya”, sahut Keisya sambil mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku.Tampak sebuah senyum tersungging di wajahnya.Ia tampak manis, meski aku tahu ia tengah membohongi dirinya sendiri dengan senyumnya yang penuh kegamangan saat ini.
******

Hari-hari muram buat Keisya telah berlalu.Dapat terlihat lagi auranya yang periang dan senyumnya yang menggoda. Dengan centilnya ia menghidupkan suasana di kelas kami. Mungkin, itu salah satu alasan mengapa aku rela menjadi sahabatnya.
“Wah, lagi seneng ni ye…”, godaku padanya.
“Maksud kak Rasya apa sih?Dateng-dateng langsung nyeplos begitu? Plis deh,…”, timpalnya padaku.
“Sepertinya ada sesuatu nih. Makanya si putri ini lagi doyan nyegar-nyegir nggak jelas”.
“Emang menurut kakak begitu ya?” ujarnya tanpa menatap aku, sambil nyegar-nyegir tak jelas.
“Inggih, Sayang…. Emang ada apa toh? Cerita dong”.
“Rasya tahu Bramasta kan?”
“Emang kenapa?”
“Orangnya perhatian ya, Kak. Baaaiiikkk banget”

Aku sangat terkejut akan apa yang baru saja dikatakan Keisya. Entah aku merasa ada sesuatu mengganjal di hatiku.Ada serpihan rasa tak rela yang menghujam dada.Seketika lidahku kelu. Tanpa ingin membuatnya kecewa akan responku yang tidak cukup baik, ku lemparkan senyum padanya. Berharap ia tak menyadari akan adanya kegamangan dalam hatiku.
*****

Mulai saat itu, Keisya tak lepas dari topic yang membahas tentang Bramasta.Anak laki-laki di sekolah kami yang bisa dikatakan tenar. Berperawakan tinggi, putih, bermata sedang, dan jika tersenyum maka akan timbul sebuah cekungan di sudut pipinya. Dan semenjak hari itu pula, waktu malamku terasa panjang dan melelahkan.Bramasta adalah kawanku saat kelas 4 SD dahulu. Kedua orangtua kami pun sudah cukup mengenal.Tak jarang Ibu mengundang mereka –Bramasta dan keluarga- dalam setiap acara penting keluarga kami, begitu juga sebaliknya.Kami tergolong dekat, walau kini pada nyatanya hubungan kami semakin merenggang. Bahkan jika aku menceritakan hal ini pada teman-teman di sekolah ku kini, sungguh mereka akan benar-benar tidak percaya. Mustahil untuk dapat dipercaya oleh mereka.Tak apalah, sempat mengenal bahkan mejadi kawannya pun jadi hal istimewa buatku.Dan semua yang telah terjadi  antara aku dan Bramasta seakan sudah cukup memberikan alasan untuk menumbuhkan rasa kagum dari ku untuknya.

Dengan terus melajunya sang waktu, rasa kagum itu kian menjalar, merambat dan bersarang ke dalam ruang-ruang kosong di benakku.Semakin lama, semua rasa itu kian mendalam. Dan kini, . . . .tepat dihadapanku. Seorang gadis yang telah kuanggap bak saudara, menceritakan sosok Bramasta dengan binar-binar kekaguman yang tampak di matanya.
“Apa kamu mengagumi, Bramasta?” tanyaku tiba-tiba pada Keisya.Semua terasa terlontar begitu saja dari mulutku.

Keisya diam., tersenyum dan melempar pandangannya pada goresan putih yang menggantung di langit biru yang gagah. “Menurutmu Rasya? Apakah seperti itu adanya?” ucapnya kemudian. Tergores sebuah senyum dari bibirnya.
*****

Entah untuk yang ke-berapa kalinya aku membolak-balikkan tubuhku di atas ranjang.Nyanyian jangkrik terdengar makin lantang, seiring dengan terhentinya suara riuh manusia yang rutin terdengar di pagi hari. Dari balik jendela, cahaya bulan telah memberi warna perak pada pepohonan di luar sana. Lambaian tirai-tirai di kamarku seakan mengabarkan bahwa sang angin darat telah menjaga nelayan-nelayan yang tengah memulai harinya demi sepincuk nasi. Ku lempar pandangan pada jam dinding yang menggantung di seberang ranjangku. Pukul 02.00.Hingga saat ini kedua mataku enggan terpejam, walau perihnya mata ku rasa sudah.Kata-kata Keisya pagi tadi masih terngiang jelas dalam anganku.“Ah, aku tak boleh seperti ini. Pun tak ada guna aku mementingkan hatiku sendiri.Toh, Bramasta tak memiliki perasaan apapun padaku. Bukankah cinta tak harus memiliki?” batinku lirih.Cinta.Inikah rasanya?Sesuatu yang selalu terdengar indah, magis, dan luar biasa, telah menjangkit diriku.Sesuatu yang selalu dibuat istimewa oleh para pengarang maupun penyair. Tapi,… mengapa semua seperti ini? Terasa sakit, berat, dan memilukan.Makin meracuni alam pikiranku yang kalut.Sungguh buruk kenyataan cinta yang sesungguhnya.Namun semua kembali pada satu pertanyaan singkat, “Pantaskah aku merasakan cinta saat ini?”
*****

“Sya,…Rasya!” panggil Nadine tergopoh-gopoh.
“Ada apa?Santai aja lagi, nggak usah lebay sampai mengos-mengos begitu”.Ucapku sekenanya.
“hosh.. hosh..  Itu…hosh hosh… emmm, i..ttu lho…” ucapnya tak jelas sembari mengatur napasnya yang tersengal-sengal.
“Hadeh, ngomong apa to, Mbak yu… atur napas dulu dah, tenang”.
Dalam waktu sepersekian detik, Nadine kembali bernapas normal. “Kei,….Kei,.. Kei, Rasya..”
“Kei? Ada apa? Kenapa Keisya?” responku panik seketika.
“Dia lagi berantem di kantin. Anak-anak malah pada nyorakin mereka, ngomporin gitu-….”
“Oke, makasih”.Responku singkat dan segera berlari ke arah kantin.Walau aku tahu bahwa Nadine belum selesai bicara tadi. Aku harap ia tidak marah dan bisa mengerti.
Gerombolan anak laki-laki dan perempuan riuh, membentuk formasi lingkaran tak beraturan. Mereka meneriakkan nama Kei dan Teressa. Segera ku berlari menuju kerumunan dan beradu badan dengan yang lainnya agar aku dapat menempati posisi terdepan. Begitu sampai di barisan depan, dapat ku lihat Kei dan Tere yang saling menjambak. Wajah mereka berdua merah padam, sama-sama terbakar emosi menggebu.Tak membuang waktu aku menuju ke tengah-tengah berharap dapat melerainya.
“Hei, hentikan!Hentikan semua ini!” teriakku cukup keras.Sialnya suaraku kalah terdengar daripada teriakan masal yang tengah mendukung jagoan mereka yang tengah bertanding.
‘Bruak!!!’

Aku jatuh tersungkur saat aku berusaha menengahi mereka berdua. Tangan Tere mendorong tubuhku keras secara tidak sengaja –mungkin memang tak sengaja, aku tak tahu-. Keisya menatapku yang merintih lekat-lekat.Ia melepaskan diri dari rengkuhan tangan Tere, dan bergegas menghampiriku. Masih dengan wajah yang merah padam, Tere mentap aku dan Keisya bergantian.Tatapan yang seakan bermakna, aku-akan-memberikan-pelajaran-yang-lebih-dari-ini-anak-bau-kencur. Ia berlalu dengan senyum puas karena merasa telah menang atas Keisya.
“Kamu nggak apa-apa, Rasya?”
“Yang seharusnya Tanya itu aku, Bodoh. Kamu nggak apa-apa?”
“Sial, semua gara-gara cewek jelek dan bawel itu.Awas aja dia. Berani banget dia macem-macem sama kamu, Sya”, umpatnya kesal bukan main.
Kei berdiri dan berjalan menghampiri Tere yang melangkah belum jauh dari TKP sebelumya. “Tere! “ teriak Kei. Tere berbalik, “Apa lagi anak bawang?”
‘Plak!’

Pukulan keras melayang dari tangan Kei ke pipi Tere. Saat tangan Tere hampir meyentuh permukaan pipi Kei, sebuah tangan menghentikannya.
“Bramasta”, ucap Tere dan Kei hampir bersamaan.
“Udahlah, kalian jangan kayak anak kecil sepeti ini.Apa kalian nggak mikir kalau perbuatan kalian mencoreng nama baik kalian sendiri?” ujar Bramasta sok bijak.
Tanpa berkata sepatah katapun, Tere berlalu.Terbesit kilatan amarah yang kian berkobar di matanya.Bramasta menatap wajah Keisya teliti.“Panampilanmu acak adul banget.Sumpah. Kamu juga luka, di obtain ke UKS gih,…….”

Bulir-bulir bening mengalir mulus di pipiku.Aku tak kuasa lagi untuk menahan genangannya. Hatiku benar-benar terasa terguncang melihat apa yang terjadi pada Rasta dan Kei. Mereka kini tengah berdiri di hadapanku, berjarak sangat dekat. Tampak rasa cemas dari air muka Rasta. Aku berlari.Menjauh dari pemandangan yang memekakkan luka di hatiku.Aku berlari megikuti kemana pun langkah kaki terarah.
*****

“Kak Rasya, tunggu..”, Kei memanggilku yang sedari kemarin berusaha menghindrinya. “Sya, kamu marah sama aku?Apa karena aku berantem waktu itu ya? Aku minta maaf”.
Ku tatap mata bulatnya mendalam. Mata yang membuat setiap orang akan menaruh simpati padanya. “Iya aku maafin kok.Lain kali jangan kamu ulangi, inget orangtuamu nggak pernah ngajarin kamu untuk berantem kaya ayam bodoh.Apalagi ini Cuma hal sepele”.
“Maaf, Sya. Aku….” Air mata menggenang di kedua pelupuk matanya, selang beberapa detik bulir-bulir bening itu tumpah ruah. “Maafkan aku, Sya,,,”
Ku raih tubuhnya dan ku dekap ia. Aku beruaha untuk menentramkan hatinya.“Iya, kei aku maafin kamu. Dan aku juga minta maaf ya, Kei….”
Kei menarik dirinya dari tubuhku.Ia menatapku, “Maaf? Untuk apa?”
“Untuk,….segalanya, Kei. Segalanya”, jawabku mnggantung.Aku terus terhanyut dalam tatapan matanya. “Kei maafkan aku yang belum seutuhnya rela melepaskan perasaanku pada Rasta untukmu”, batnku dalam hati.
“Oke, daripada larut dalam kesedihan yang super nggak jelas gimana kalau nanti kita hang out. Makan bakso atau mi ayam?” tawar Kei padaku, sambil menyeka jalur yang membekas atas air matanya.
“Aku kenyang. Mungkin lain kali. Aku minta maaf”.
“Sayang sekali. Tapi, tak apalah”
|”Emm, kalau boleh tahu ada masalah apa, antara kamu sama Tere?”
“O, jadi gini ceritanya-..”.
*****

Matahari kian meninggi.Panasnya sungguh menyegat, serasa membakar hangat ubun-ubun kepala.Ku kayuh sepeda menuju perpustakaan umum.Dalam kondisi kalut seperti ini, ku luangkan sedikit waktu untuk sekedar mambaca buku, berharap semua masalah dapat terlupakan walau hanya sekejap.
Begitu sampai di dalam. Ribuan buku yang tertata rapi dalam rak-rak yang saling berjajar. Ku perintahkan langkah kakiku menuju kumpulan buku yang berlabel “Sastra dan Karya Fiksi”.
“Rasya!” tiba-tiba sebuah suara yang tak asing bagiku terdengar keras memanggil.
“Hei, Kei! Tumben ke sini.Sama…?” belum genap aku menyelesaikan kalimat tanyaku, sosok Rasta menyusul di belakang Kei.“Sepertinya aku sudah tahu jawaban atas pertanyaanku sendiri”. ujarku kemudian.
“Ku akui kau memang cerdas, Rasya”.
“Hei, Rasya! Udah lama banget nggak ketemu.Ngilang kemana aja kamu?”Rasta tiba-tiba datang dan menyapa ku.
“Bukankah yang selama ini sering ngilang itu kamu ya?Secara anak tenar gitu?”
“Bisa aja kamu, Sya.Kamu belum berubah ya.Masih pinter ngeles kaya dulu”.
“Oh ya?” jawabku singkat.“Aku emang nggak berubah, Rasta.Begitu juga perasaanku ke kamu. Mungkin selamanya akan tetap sama”, benakku kemudian. Jujur saja, seketika jantungku berdebar kencang, aliran darahku mengalir begitu cepat.Tubuhku gemetar.Tangan dan kakiku terasa kesemutan.
“Ehem..ehem… ada yang dikacangin di sini nih”, Kei berkomentar atas suasana yang terjdi.
“Wah, ada yang marah ni ye”, godaku.
“Oke.Kei, bisa kamu cerita gimana kamu bisa kenal dan bersahabat sama cewe bawel, cerewet, dan cengeng kayak dia?”
“Oh, gitu? Awas kamu ya”.
“Kamu ngancem ceritanya nih?” goda Rasta padaku.

Mulai detik itu, ku rasakan kembali kedekatanku dengan Rasta. Dan dapat ditebak, aku semakin sukar menghapusnya dari hatiku. Seakan ada harapan untukku. Jujur saja, aku merasa dia sangat perhatian kepadaku. Aku nyaman berada di dekatnya. Aku sering menghindari kontak mata dengannya, aku tak kuasa menatapnya lama. Tak jarang Rasta tersenyum geli dengan tingkahku yang serba salah. Namun, kami tidak hanya berdua saja dalam melewati hari. Ada Keisya. Sahabatku yang juga saingan hatiku akan Rasta.*****
‘Drrrrtt,,,ddrrrrtt,,’

Handphone ku bergetar.Ada sebuah pesan dari Rasta. Jujur, aku telah menantikannya sejak semalam. “. . . Happy Birthday, Friend. Moga tambah suskses aja dan selalu berada dalam naunagn rahmat-Nya.Amiin. O ya, Sya hari ini aku mau ngundang kamu untuk makan bareng keluarga aku.Toh, udah lama juga kita nggak makan bareng.Jangan lupa kenakan gaun ungu itu. Aku harap kau menyukainya. . . .”, sms panjang lebar dari Rasta membuatku gembira dan bingung. Gembira tas undangannya dan bingung perkara gaun ungu yang ia sebutkan dalam pesannya. Gaun apa yang ia maksudkan?
“Kei, kamu nerima titipan nggak? Kiriman pos gitu, ada nggak?” tanyaku pada Keisya yang kini tinggal seatap denganku. Kini lagi-lagi kami kuliah di tempat yang sama. Dan ujung-ujungnya, kami memutuskan untuk tinggal di rumah kos satu atap.
“Hah, ng..ng kiriman… tt .. ttittipan? Ng..ng.. ng… aku nggak tahu tuh. Emang kenapa?” jawabnya dengan air muka yang aneh seketika.
“Nggak, aku butuh banget barang itu.Ada hal penting untukku.Terimakasih”.
“Yap, aku pasti akan memberimu kabar seputar kiriman yang datang, Rasya. Itu pasti.”
“Aku percaya padamu, Kei”.
“Ngng, Rasya,…”
“Iya, Kei?”
“Selamat ulang tahunJ”
“Terimakasih, Sobat.  Kau yang terbaik”.
*****

Hatiku masih terbalut gelisah dan bersalah. Gaun pemberian Rasta tak berjejak, hilang. Aku pun tak menghadiri undangan makan malam dari keluarga Rasta. Aku tak tahu harus berkata apa pada mereka perkara gaun yang hilang itu. Aku malu. Rasta maafkan aku.
‘Bruak!!’
Sebuah kotak bersampul hitam jatuh dari lokerku. Penasaran, ku buka bungkusan kotak itu.Dan ku lihat isinya, sebuah kaset rekaman dan sebuah buku harian yang persis dengan milik Keisya. Apa maksudnya ini. Tak betah didekap penasaran, ku setel rekaman itu. Dan ternyata……
******

“Apa maksudmu melakukan ini semua, Keisya? Apa salahku padamu?” makiku pad Keisya setibanya aku di rumah. Awalnya aku tak percaya akan apa yang ku lihat dalam rekaman itu, tapi pernyataan Keisya pada buku hariannya cukup menjadi bukti.

. . . Tuhan, sungguh aku tak rela ini semua terjadi.Ternyata selama ini Kak Rasta lebih menaruh kagum pada Rasya.Bukan padaku! Tadi pagi, aku menemukan sebuah bingkisan bersampul ungu di depan pintu. Dibawa penasaran, kemudin ku buka isinya. Ternyata itu adalah kado ulang tahun dari Rasta untuk Rasya .Sungguh hati ini terbakar. Hatiku berkecamuk. Haruskah aku utamakan sahabatku atau perasaanku? Tak berselang lama, ada seorang gadis kecil melintas di hadapanku. Ku panggil ia, dan ku berikan gaun ungu itu padanya. Aku berkata padanya, bahwa ia harus memakai gaun ini jika tiba waktunya nanti. Ia tersenyum bahagia dan berlalu. Kembali aku menitihkan air mata. Rasya, maafkan aku.Sungguh aku tak kuasa menerima semua ini..  Rabu, 20 Oktober. . . .
“Rasya, aku… ak akk,..akkuuuu….”
“Sudah cukup, Kei.Aku lelah denganmu. Benar apa yang Tere katakan padaku. Kau memang tak punya hati. Kamu lebih mementingkan urusan dan kebutuhanmu sendiri.”.
“Tere? Apa yang telah ia katakan?”
“Tak penting. Yang terpenting adalah, aku telah menyadari bahwa kau adalah seorang penghianat besar. Aku kecewa padamu”.
“Aku bukan penghianat. Aku sahabatmu, Sya’.
“Sahabat? Tidak lagi untuk sekarang dan seterusnya”. Usai bicara aku lekas berlalu.
“Rasya,…”

Langkahku terhenti. Hatiku berontak untuk mencabut semua yang telah ku ucapkan. Namun, emosiku tak dapat teredam lagi. “Oh ya, Kei. Mulai siang ini aku tidak lagi seatap denganmu. Semoga kau segera tenang atas kepergianku. Dan,… terimakasih”, ucapku tanpa berbalik.
******

‘drrrrtttt…. Dddrrrtttt…’
Handphoneku bergetar untuk yang ke-sekian kalinya. Terpampang nama Keisya di layar handphoneku. Sudah hampir dua minggu aku tak menjawab sms atau menerima panggilan darinya.Hatiku masih nyeri saat mengingat semuanya. Aku juga menghindari Rasta. Jika Keisya memang benar-benar menginginkannya, akan ku relakan dia. Mungkin Rasta benar-benar bukan untukku.

Ku tatap lekat-lekat  foto yang tengah ke dekap. Bergamabar 3 remaja, satu laki-laki dan dua wanita. Mereka tersenyum riang menatap kamera.Di bawahnya tertera tulisan SAHABAT SEJATI SELAMANYA.
Air mata mengucur deras.Menusuk luka hati yang seakan terlanjur bernanah.Luka hati yang tak pernah aku inginkan.Luka hati yang telah mengorbankan sesuatu berharaga dalam duniaku, persahabatanku..