Rabu, 24 April 2013

Barangkali Cinta



Barangkali cinta
Jika darahku mendesirkan gelombang yang tertangkap oleh darahmu
Dan engkau berteriak karenanya
Darahku dan darahmu
Terkunci dalam nadi yang berbeda
Namun berpadu dalam badai yang sama
Barangkali cinta
Jika napasmu merambatkan api yang menjalar ke paru-paruku
Dan aku terbakar karenanya
Napasmu dan napasku
Bangkit dari rongga dada yang berbeda
Namun lebur dalam bara yang  satu
Barangkali cinta
Jika ujung jemariku mengantar pesan yang menyebar keseluruh sel kulitmu
Dan engkau memahami seketika
Kulitmu dan kulitku
Membalut dua tubuh yang berbeda
Namun berbagi bahasa yang serupa
Barangkali cinta
Jika tatap matamu membuka pintu menuju jiwa
Dan dapati rumah yang kau cari
Matamu dan mataku
Tersimpan dalam kelopak yang terpisah
Namun bertemu di jalan setapak yang searah
Barangkali cinta
Karena darahku, napasku, kulitku, dan tatap mataku
Kehilangangan semua makna dan gunanya
Jika tak ada engkau di seberang sana
Barangkali cinta
Karena darahmu, napasmu, kulitmu, dan tatap matamu
Kehilangan semua perjalanan dan tujuan
Jika tak ada aku di seberang sini
Pastilah cinta
Yang punya cukup daya , hasrat, kelihaian, kecerdasan, dan kebijaksanaan
Untuk menghadirkan engkau , aku , ruang, waktu
Dan mejembatani semuanya
Demi memahami dirinya sendiri
-Dee-

Senin, 22 April 2013

In My Guitar


Hannaaaaaa… Teriak salah satu teman Hanna yang panik.
“Ada apa?” tanya Hana. Hana adalah seorang murid SMA Kirin di SMA, hari ini sedang melakukan ujian praktek biologi. “hmmmm Su sung ha” tepisnya. Iya ada apa dengan sungha? ‘tanya Hanna penasaran’. Lalu teman hana menjelaskan apa yang terjadi. “Dia terjatuh, entah bagaimana kepala belakangnya terbentur batu, dan sekarang dia tidak sadarkan diri”. Sebuah pipet yang digenggamnya terjatuh dan Hanna berlari, mencoba menemui sungha.
Melihat keramaian di lapangan dan mobil yang ingin membawa Sungha, Hanna mulai menghampirinya, tapi mobil itu segera pergi menuju rumah sakit.
“Sung-Ha” panggilnya dalam hati.
Saat di rumah sakit Ayah dan Ibu Sungha sedang menunggu Sungha. Ketika dokter keluar setelah selesai melakukan operasi penjahitan kepala belakang Sungha. “keadaannya sungguh sangat memperihatinkan, kepala belakangnya terkena benturan terlalu keras dann..” (suasana diam sementara) karena Ibunda Sungha tidak sanggup mendengar perkataan dokter ia memutuskan untuk duduk sambil menahan air mata yang jatuh terlalu banyak.
Apa dok? apa yang akan terjadi dengan Sungha? Tanya Ayah Sungha yang sangat penasaran. “Dia di diagonsis akan menderita cacat” jelasnya dengan lengkap. Ibunda Sungha yang tak kuat mendengar perkataan dokter pingsan dan Ayahnya menangis. “Dokter apakah cacat yang diderita anak saya ini bisa disembuhkan? Tolong dokter, bantu kami? Apa yang harus kami lakukan” tanya ayah Sungha. “banyak yang menderita cacat sejenis ini, saraf di otaknya mungkin ada yang putus, walaupun cacat pada dirinya ringan tapi jalan keluarnya hanyalah terapi fisikis dan terapi yang lainnya” jawab dokter,
“terapi ini harus rutin dilakukan dan berjalan sangat lama” sambungnya.
Tidak jauh dari perbincangan Ayah dan Ibu Sungha, Kim Hanna mendengar perkataan yang dilakukan oleh Ayah dan Ibu sungha pada dokter. “Sunghaaa, mengapa bisa seperti ini?” tanyanya dalam hati.
Hanna mencoba masuk ke ruangan di mana Sungha di rawat, dan duduk di kursi tepat di samping Sungha “Sungha, bagaimana keadaanmu saat ini?” sambil memegang tangan Sungha yang dingin “Sungaha apakah kau mendengarku? Sunghaaaa jawab pertanyaanku, kau jelek seperti ini”
Ceklek… terdengar pintu terbuka
Hanna? ‘sapa Ibunda Sungha yang baru memasuki kamar dimana Sungha dirawat’
“ini sudah larut nak, sebaiknya kau pulang biar Ibu yang menjaganya” terangnya. “Baik bu, saya pamit pulang” jawab Hanna. Hanna bergegas dari kursinya untuk meninggalkan Sungha, belum membuka pintu Ibunda Sungha memberitahu sesuatu pada Hanna. “Mulai besok kau tidak usah repot-repot menjenguk Sungha lagi, karena besok ia harus menjalani terapi, dia akan dipindahkan ke sebuah panti yang menangani terapi untuk Sungha” Mendengar perkataan Ibunda Sungha, Hanna hanya bisa memejamkan mata dan saat itu juga air matanya jatuh. Kejadian ini membuat Hanna terpukul, jika saja ia tidak menyuruh Sungha untuk pulang duluan pasti kejadiannya tidak seperti ini.
Di perjalanan pulang hingga ia naik bus, Hanna hanya bisa menangis merenungkan kejadian hari ini. “Sungha, jika waktu bisa diputar pasti besok aku bisa melihat senyumanmu di sekolah” ungkapnya dalam hati.
Hingga pagi menjelang, saat di sekolah yang biasanya Hanna selalu terlihat ceria, hari ini ia terlihat sangat murung. Saat hendak memasuki kelasnya ia melihat Ayah Sungha sedang berbicara dengan wali kelasnya. Hal ini membuat Hanna ingin tahu apa yang Ayah sampaikan kapada wali kelasnya. Seketika Hanna menunggu, seseorang kakak kelas lewat bersama temannya dan membicarakan tentang Sungha, ternyata mereka mendengar perbincangan Ayah Sungha dengan wali kelasnya. “Kasihan ya Sungha, padahal dia anak yang sangat pintar dan berprestasi di kelasnya” kata salah seorang kakak kelas yang lewat, “yang kasihan tuh orang tuanya, sudah membesarkannya susah payah, eh malah terkena musibah seperti ini, mana Sungha anak satu-satunya” balas temannya.
Hanna yang penasaran, menghampiri dan menanyakan tentang Sungha.” Apakah kalian mendengar banyak tentang perbincangan Ayah Sungha dan Bapak guru?” Memang apa urusannya denganmu? ‘kata salah satu kakak kelasnya’ Derai air mata Hanna sudah tidak bisa dibendungnya, sesekali ia meneteskan air mata. “Aku mohon, (sambil bertekuk lutut) aku mohon beritahu aku. Apakah dia baik-baik saja atau apa. Aku ingin tahu keadaannya” pintanya.
“kenapa kau sangat memaksa dan ingin tahu, memangnya kau ini siapa?” lalu kakak kelas itu meninggalkan Hanna yang belum bangun, air matanya tiada henti-hentinya hingga tambah deras. Melihat hal itu, salah satu kakak kelas berbalik dan memberitahu semua yang didengarnya. “ Sungha akan dibawa ke daerah Itaewon, jika kau ingin tahu alamatnya coba kau tanya kepada wali kelasnya, dia akan mengikuti terapi sampai ia bisa sembuh total, entah seberapa parah sakitnya itu, dia akan mengikuti terapi sampai dia sembuh” jelas kakak kelas.
Dengan langkah lemas Hanna pulang sampai di rumah, pikirannya tak pernah lepas dari Sungha, langkah demi langkah kakinya menapaki anak tangga menuju kamarnya. Saat di kamar Hanna melihat foto dia bersama Sungha, di bingkai yang berwarna biru, warna kesukaan Hanna. Bingkai dan foto ini adalah hadiah ulang tahunnya dari Sungha, di dalam foto itu terlihat Sungha sedang memegang gitarnya bersama Hanna.
“Gitar ini pemberian Ibuku, dia yang paling mengerti kalau aku sangat suka main gitar dan mungkin karna arti namaku adalah ‘Gitar’ ” jelas Sungha. Di balik senar gitar milik Sung Ha tertulis nama Sung Ha Jung, memang gitar ini hadiah sepesial dari ibunya untuk Sungha. “kau tahu tidak?” kata Sungha sambil menunjukan namanya di gitarnya. “Di sini tertulis Sung Ha Jung, Sung berasal dari marga Ayahku, Jung adalah nama belakang Ibuku dan.” Dan Ha? ‘tanya Hanna penasaran’ Ha adalah Hanna, Kim Hanna, jelasnya “hah, aku? kau ini ada-ada saja” balas Hanna dengan senyuman kecilnya. “Walaupun kita kemungkinan bisa berpisah suatu saat nanti, tapi kita pasti akan bertemu kembali, karna Sung, Ha dan Jung akan selalu bersama, kalau tidak ada nama Ha disini namanya akan menjadi Sung Jung, maka dari itu kau jangan pernah pergi kemana-mana, agar namaku tetap Sung Ha Jung”. Hahahah mereka melepas tawa bersama.
“Sungha, ada apa ini? Mengapa bisa seperti ini? Benarkah kau itu? Benarkah kau cacat dan kemungkinan hilang ingatan? Sungha, mungkinkah kau akan lupa denganku?” Hanna tidak bisa menahan air matanya, hingga ia memeluk foto sambil memanggil nama Sungha.
Keesokan harinya, Hanna seperti biasa berangkat sekolah dan saat di sekolah ia meminta alamat kepada wali kelas dimana Sungha mengikuti terapi. “ Apa kau ingin menjenguk Sungha? daerah ini berada di luar kota, kau harus naik bus untuk mencapai ke sana” jelas guru yang memberikan alamat dimana Sungha mengikuti terapi. Tanpa seuntai kata pun Hanna mengucapkan terima kasih dan meninggalkan ruangan guru. Ia berencana ke tempat itu setelah pulang sekolah.
— saat pulang dan bergegas untuk ke halte bis
Pertama kalinya Hanna menggunakan transportasi bis, walaupun begitu ia tetap semangat dan ketika sampai di halte ia turun dan menanyakan alamatnya kepada orang sekitar. Rasa lelah di wajahnya sama sekali tidak terlihat, hingga ia sampai di tempat tujuan. “Saya ingin bertemu dengan pasien yang bernama Sung Ha Jung” tanyanya kepada receptsionist “Dia berada di lantai dua, kau hanya naik satu lantai saja” balas salah seorang receptsionist. Bangunana dimana Sungha menjalani terapi memang bukanlah seperti sebuah panti yang mewah, bangunan ini hanya memiliki jumlah dua lantai, dan di lantai dua dimana Sungha dirawat. Dengan memakai seragam sekolah dan tas punggung yang masih dirangkulnya Hanna mencoba mencari kamar Sungha. Satu pintu terlewatkan ia melihat seseorang yang cacat sedang diterapi, Hanna mencoba membuang pikiran negative tentang Sungha, pintu kedua dan ketiga, hingga sampai pintu yang terakhir ia mulai menghela nafas. “Permisi” ucapnya. “Ya” dari dalam seseorang membalas ucapannya. Tiga langkah yang ia ambil, ternyata berhenti sampai di langkah ke empat, pria yang sedang diterapi oleh dua orang, Hanna mencoba mengambil satu langkah lagi, dan tepat! Sungha sedang duduk sambil diterapi oleh dua orang perawat. “bolehkan saya menunggu sampai terapi ini selesai” tannya Hanna kepada dua orang perawat. “Apakah anda salah satu keluarga dari pasien ini? Tadi pagi Ayah dan Ibunya telah mengantarkan dia ke sini dan nanti malam kemungkian mereka akan mengambilnya kembali ke rumah” ungkap salah satu perawatnya. “ya” jawabnya.
Setelah terapi selesai, Hanna menghampiri Sungha yang masih terjaga sambil tiduran. Bibir Hanna gemetar, matanya mencoba menahan air mata yang tak bisa lagi terbendung, perlahan jatuh. “Sungha, apakah ini kau? Apakah benar ini adalah seseorang yang mempunyai gitar bernama Sung Ha Jung” ucapnya, perlahan kepala Sungha bergeser ke arah suara Hanna, matanya terbuka memperhatikan Hanna dan bibirnya tersenyum, pertanda ia bisa mendengar suara itu.
— kalo di sini penderita cacat yang seperti ini, sebenernya dia masih bisa mendengar pembicaraan dan mengerti apa yang dibicarakan, tapi dia tidak bisa untuk berbicara/ berbalas komunikasi secara langsung. So hal ini gua temui saat di panti asuhan deket sekolah, waktu itu gua pernah berkunjung ke sana. Dan orang ini yang menjadi inspirasi di cerpen gua ini, hehehe — (coffe break bentar, hehe )
Dua, tiga, empat, bahkan sampai ke sepuluh kalinya Hanna bolak-balik ke Itaewon sepulang sekolah, hanya untuk menjenguk Sungha. Sampai-sampai perawat semua di sini kenal padanya. Tapi kunjungan yang ke sebelas kalinya adalah kunjungan terakhir dan ucapan perpisahan Hanna kepada Sungha, ia sampai-sampai rela meninggalkan sekolahnya demi melihat Sungha untuk terakhir kalinya, walaupun sang Ayah sedang sibuk mengurus perpindahan sekolahnya.
Seperti biasa, ia masih mengenakan seragam sekolahnya. Terliahat di ruangan Sungha dirawat, gitar milik Sungha berada di samping tempat tidur Sungha. Nama Sung Ha Jung yang tertera di balik senar gitar terlihat jelas, lalu telapak tangan Hanna menutup nama ‘Ha’ menjadi Sung Jung “ Ini kan maksudmu, Sung Jung” tepisnya. Dan ternyata Hanna ingin pergi jauh dari Sungha.
Hanna mencoba mendekati Sungha yang sedang berbaring namun sadar, dan ia mulai memberikan penjelasan bahwa hari ini adalah kedatangann yang terakhir sekaligus salam perpisahan untuknya.
“Sungha, aku harap kau bisa mendengar ini, dan aku mohon dengan sangat kau memaafkanku” mula-mula Hanna menggenggam tangan Sungha “ Sungha, mungkin esok, lusa dan seterusnya aku tidak berada di sini lagi, aku tak bisa menjengukmu lagi, bahkan menunggu ibu dan ayahmu datang kembali baru aku pulang. Aku harus pergi ke London untuk melanjutkan sekolahku di sana, ini adalah permintaan ayahku, dan aku mana mungkin menolaknya. Sungha… di dalam doaku, namamu tak kan lupa ku sebut, agar kau bisa cepat sembuh dan tidak menghawatirkan orang lain lagi, agar suatu saat nanti kita masih bertemu, entah kapan dan dimana. Sunghaaaa, walaupun kau bisa melupakan diriku, tapi aku mohon dengan sangat jangan kau melupakan memori di saat kita bersama” ungkap Hanna. Seperti biasa, Hanna mengeluarkan air mata, dan tak disangka air mata Sungha juga perlahan jatuh mendengar perkataan Hanna. Seketika Hanna menghapus air mata Sungha. “Pasti kau mengerti apa yang aku katakan, sekarang aku pamit, semoga kau cepat sembuh dan kita bisa bertemu kembali nanti”. Sebelum pergi, tidak lupa Hanna memasukan sebuah kain rajutan ke dalam gitar melalui bolongan gitar, di kain tersebut ter dapat nama SUNG HANNA JUNG yang terjait dengan begitu bagusnya. Ketika menuju keluar, Hanna berbalik lagi dan mencium kening Sungha, “Selamat tinggal” ucap Hanna.
Kim Hanna pun, bergegas menuju ke rumah dan besok pagi buta ia berangkat menuju bandara untuk terbang ke London dan bersekolah di sana.
—– Ten Years Letter —
Hanna telah lulus dari bangku kuliah S2 di London 3 tahun yang lalu dan Sungha telah pulih dari cacatnya 7 tahun yang lalu dan selama 3 tahun ini ia mulai dilatih secara otodidak bagaimana ia harus beradaptasi. Walaupun ia terkena cacat saraf otak, tapi kemampuan untuk mengingat dan kepandaiannya masih ada.
Selama 3 tahun Hanna bekerja menjadi sekertaris perusahaan dimana pemilik perusahaan tersebut adalah ayah Sungha dan Ayah Sungha akan segera pensiun dan memberikan kepercayaan dan tanggung jawabnya kepada Sungha untuk melanjutkan bisnisnya.
Di ruang meeting, Ayah Sungha menjelaskan tentang rencana pensiunnya dan tentang kelanjutan bisnisnya. “ Saya, Sung Jae Yong akan memutuskan untuk pensiun bulan ini, dan bisnis ini, saya memberikan kepercayaan kepada anak kandung saya Sung Ha Jung atau sekarang namnya telah berganti yaitu Lee Yong Jung “Hallo perkenalkan saya Lee Young Jung, saya dipercaya untuk melanjutkan bisnis ayah saya. Mohon bimbingannya” itulah salam perkenalan Sungha pertama di depan orang banyak.
Tok, tok, tok.. maaf direktur saya terlambat “kata Sekretaris Luna. Sekretaris Luna adalah seorang Kim Hanna (masa lalu Sungha) semenjak kepindahannya ke London ia selalu menggunakan nama Inggrisnya, yaitu Luna Lerman.
“ya tidak apa sekretaris Luna, meeting ini hanya memperkenalkan pengganti saya, silahkan duduk kita akan mulai penjelasannya” jelas ayah Sungha
Hanna duduk di kursi yang berhadapan dengan Sungha (di sini Hanna tidak mengingat wajah Sungha karna sudah lama tidak melihat Sungha, begitu pula dengan Sungha)
“Baiklah, Lee Young Jung ini akan menggantikan saya, sebagai direktur dan jika dia melanggar peraturan yang ada, jangan segan-segan untuk melaporkannya kepada saya terlebih dahulu” begitulah penjelasan ayah Sungha. “Oh ya Lee, ini adalah sekretaris Luna dia akan menjadi sekretaris pribadimu” ungkap ayah Sungha “Sekretaris Luna mohon bimbingannya” pinta ayah Sungha. “Baik, direktur”.
Lama kelamaan, hubungan Hanna dengan Sungha sangat dekat, meskipun mereka adalah masa lalu dari mereka (pahamin dah situ kata-katanya, hehehe) mereka selalu terlihat bersama, sampai akhirnya Hanna diajak untuk makan malam bersama. Saat selesai meeting direktur Lee (Sungha) memanggil sekretaris Luna (Hanna) “ Sekretaris Luna, kita sudah lama saling kenal, saya mengundang anda untuk makan malam di Dong-a restaurant? bagaimana? (entah di Korea ada tu restaurant apa ga, hehe)” tanya direktur Lee yang langsung to do point. “Bagaimana ya direktur, sayyaaa..” belum selesai berbicara direktur Lee langsung mencetuskan “baikk, nanti malam jam 7 di Dong-a restaurant, ku tunggu kau di sana” direktur Lee bergegas pergi, dan sekretaris Luna mencoba untuk memanggilnya, namun diabaikan oleh direktur Lee. “Huh, bagaimana aku menyesuaikan bajunya, aku mana punya dress untuk makan malam, aku kan tidak suka mengenakan dress, memaksa sekali orang itu” gumamnya.
Saat malamnya, Hanna bingung ingin menggunakan baju apa. Satu per satu baju ia pilih, namun baju yang ia kenakan terlihat seperti ingin bermain dan bukan seperti makan malam dengan pria. Tapi pada akhirnya dia memutuskan untuk mengenakan baju rok kodok dan memakai sepatu cats. Dengan taksi ia bergegas menuju ke Dong-a restaurant, dan menunggu direktur Lee.
Tibalah direktur Lee dan mencari sekretaris Luna “Sekretaris Luna, mengapa anda memakai pakaian seperti ini, seperti ingin bermain saja” tanya direktur Lee yang agak sedikit kecewa melihat penampilan sekretaris Luna. “ini kan hanya makan malam biasa, untuk apa aku berdandan” balasnya. Walaupun terlihat seperti itu, namun direktur Lee tersipu melihat kecantikan sekretaris Luna. “Apa kau tidak tahu bedanya kencan dengan makan malam” tiba-tiba direktur Lee keceplosan mengatakan hal itu kepada sekretaris Luna. “Apa katamu? Memangnya kita sedang kencan” tanya sekretaris Luna dengan bingungnya. “Maksudku makan malam bersama” kata direktur Lee yang salting karna hal tadi.
Selesai makan malam, mereka jalan-jalan menuju sungai Han. Sambil membawa minuman, Hanna meminta direktur Lee untuk duduk sebentar karna ia kelelahan. “Baiklah, kita duduk di kursi sana” kata direktur Lee. Sembari duduk direktur Lee menunjukan sabuah kain rajutan dan ternyata kain rajutan itu adalah pemberian dari Hanna waktu itu, di saat ia menderita cacat. “Kain rajutan ini kutemukan dalam gitarku (sambil membuka lebar rajutannya dan telihat nama Sung Hana Jung) di sini ada sebuah jahitan bertuliskan Sung Hana Jung “Mendengar perkataan sang direktur, sekretaris Luna yang sedang menyedot minumannya itu tiba-tiba berhenti sejenak dan kaget atas nama yang ia sebut dan melihat kain rajutannya. *flashback, saat Hanna memasukan kain rajutan ke dalam gitarnya Sungha. “Di gitar yang dibelakang senarnya bertuliskan namaku, Sung Ha Jung memang aku mendefinisikan Ha itu dengan nama seseorang yang sangat kucintai, yaitu Kim Hanna” Mula-mula direktur Lee menjelaskan masa lalunya yang masih ia ingat “Namun sekarang ia entah dimana, entah dia masih mengingatku atau tidak tapi ku harap dia sudah lupa denganku” ‘begitulah penjelasan direktur Lee’ suasana diam sementara, sekretaris Luna menahan kesedihan, namun karena penasaran sekretaris Luna menanyakan suatu hal tentang Kim Hanna atau dirinya sendiri “Memangnya kenapa jika ia masih mengingat engkau, direktur?” direktur menghela nafas dan menjelaskan alasannya. “Akuu.. aku takut hal ini akan menjadi beban untuknya karna dulu aku mempunyai masa-masa yang sangat pahit. Dulu sepuluh tahun yang lalu, aku menderita cacat saraf otak. “ Hah? ( sekretaris Luna kaget) cacat saraf otak?” “Yap, dia selalu mengunjungiku untuk membantuku dan para perawat yang susah payah merawatku, menunggu kesembuhanku yang butuh proses sangat lama, hingga akhirnya dia pergi untuk melanjutkan sekolahnya di London (satu tetes air mata, jatuh dari mata sang direktur) dia selalu berbicara padaku tentang apa yang terjadi di sekolah ketika ia menjengukku, yang memang aku sedikit-sedikit dapat menangkap pembicaraannya itu, dan itu membuatku sangat terhibur. Maka dari itu aku berharap dia bisa melupakanku seutuhnya, agar hal ini tidak menjadi beban baginya dan semoga saja dia sudah bahagia dengan orang yang ia cintai” begitulah penjelasan direktur Lee kepada sekretaris Luna tentang Kim Hanna “Huh bagaimana ini aku tidak bisa menahan air mataku” ucapnya, sambil tertawa dan mencoba menghapus air matanya. “Nih, untuk menghapus air matamu” sekretaris Luna menyodorkan tisu.
“Lalu, mengapa anda mengganti nama anda?” tanya sekretaris Luna. “Mungkin itu alasan utama ayahku mengganti namaku menjadi Lee Young Jung,untuk melupakan masa laluku tatapi tetap saja aku tidak bisa melupakannya. Huhh hari sudah malam sebaiknya kita pulang” ajak direktur Lee yang menyudahi perbincangannya tentang Kim Hanna” tangan direktur Lee mencoba meraih tangan sekretaris Luna dan sekretaris Luna kaget “ada apa?” tanyanya. “Agar kau tidak hilang, hehehe” jawab direktur Lee sambil menggandeng tangan kiri sekretaris Luna
Di apartemen sekretaris Luna, sekretaris Luna tidak bisa tidur dengan nyenyak, ia masih memikirkan apa yang dikatakan oleh direktur Lee tadi. “Mengapa kau tidak ingin melihat Hanna kembali, jelas-jelas tepat di depan matamu tadi adalah seorang yang kau bicarakan, yaitu aku Kim Hanna *flashback waktu direktur Lee ngejelasin masa-masa bersama Kim Hanna di sungai Han. Akhirnya Hanna memutuskan untuk tidur dan tidak memikirkan hal itu lagi.
Keesokan harinya ketika sekretaris Luna hendak berangkat ke kantor, kejadian tidak disangka. Sekretaris Luna nyaris tertabrak mobil, namun keadaannya tidak parah dia hanya shock dan harus dibawa ke rumah sakit.
Di ruang rawat inap, sekretaris Luna sedang terbaring lemah dan tertidur. Direktur Lee menjenguk untuk mengetahui keadaan sekretaris Luna.
Tok tok tok, asisten direktur Lee mengetuk pintu. Ketika ia masuk, ia memberikan sebuah berkas kepada direktur Lee. Dan menjelaskan tentang latar belakang sekretaris Luna. Sambil membuka map dan membaca direktur Lee kaget , dengan apa yang ia baca dan apa yang asistenya utarakan. “Informasi ini kau dapat dari mana?” tanya direktur Lee, hingga berkas yang ia baca terhenti tepat diriwayat pendidikannya, dan direktur Lee membacanya denga serius. Ternyata sekretaris Luna adalah seorang Kim Hanna. Dia menggunakan nama inggrisnya, Luna Lerman ketika berada di London dan ia masih menggunakan nama inggrisnya saat sedang bekerja di korea. “Masih ada lagi direktur” kata asisitennya, lalu asisten direktur Lee menunjukan kain rajutan yang membungkus foto saat direktur Lee masih usia remaja dulu dengan Kim Hanna “Oh ya, foto ini. Bukankah ini foto direktur? Mengapa foto ini bisa sama précis dengan foto yang direktur pajang di meja dan foto ini bukankan masa saat direktur sekolah SMA dahulu” terangnya.
Direktur Lee kaget, bahwa yang selama ini bersamanya adalah seorang yang ia rindukan keberadaannya. Lalu direktur Lee meraih tangan Hanna, dan mencoba memanggil Hanna. “Kim Hanna, apakah benar engkau Kim Hanna, seseorang di masa lalu ku? Tolonglah ku mohon sadarlah” pintanya. Tangan Kim Hanna bergerak, dan takdir memang ada pada mereka berdua. Kim Hanna pun sadar, mendengar suara memanggilnya. “Hanna, apakah kau masih mengingatku?” tanya direktur Lee kepada Hanna. Hanna hanya mengangguk tersenyum yang artinya ia masih mengenal Sungha.
Dua hari setelah Kim Hanna sadar, ia diperbolehkan pulang. Dijemput oleh direktur Lee (sungha), Hanna diajak ke taman dimana mereka pertama kali mengabil foto berdua. Dan di tempat dekat dengan danau dan bunga sakuranya. “Mengapa kau tidak bilang dari dulu, bahwa kau adalah Kim Hanna?” tanya Sungha. “Bukankah, kau tidak ingin mengingatnya lagi?” jawaban yang keluar dari mulut Hanna tapi direktur Lee (Sungha) segera menepisnya “Kau ini, bodoh atau apa? Ohhh ternyata kau yang membebani pikiranku. Huh dulu mengapa aku sangat kawatir jika Hanna akan terbebani karna diriku” tidak terima ucapan Sungha Kim Hanna marah “ Hei kau, aku ini baru keluar dari rumah sakit, seengganya kau memeberikan aku hadiah”. “Keluar dari rumah sakit kau masih minta hadiah, tapi yasudah gitar ini kuberikan padamu” lalu Sungha memberikan gitarnya yang ternyata di senar dekat dengan namanya ada sepasang cincin putih. “Apa ini?” tanya Hanna bingung. “Itu cincin, kau ini! Sekolah di London bukannya semakin pintar (suasana hening ) Menikahlah denganku, dan jangan pernah menghilang dariku lagi” tepisnya. “Hanya bilang ‘Menikahlah denganku ‘saja kau harus marah-marah terlebih dahulu” jelas Hanna yang tidak terima atas kemarahan Sungha tadi. “Kau terima tidak, kalau tidak… kalau tidak, yaa jangan deh, kau pasti akan terima. Yak an? Terima yaa, oke?” (pemaksaan) “Hmmm, maafff tidakk… tidak bisa ku tolak” balas Kim Hanna. Lalu Sungha memakaikan cincin di jari manis Hanna, begitu juga Hanna yang memakaikan cincin di jari manis Sungha.
In My Guitar –The End—
Cerpen Karangan: Tri Handini Dian Sukamdani
Blog: myselfmyjournalist.blogspot.com
Facebook: Dini Trihan Liverpudlian