Rabu, 18 Januari 2012

Arwah Yang Suka Bernyanyi CHAPTER 4


CHAPTER 4:
ARWAH PENASARAN

Pak Wibisono menggeleng ke arah Miko. Menyuruh putranya itu diam. Ia tidak mau Miko menyudutkan Karmila yang tidak tahu apa-apa. Gadis itu semakin terpuruk. Dan ia masih terguncang dengan kejadian yang sama sekali tidak disadarinya itu.Ia mendekati Karmila, lantas membelai kepalanya dengan lembut."Kamu mungkin terlalu capek karena sehari ini bantu-bantu Ibu. Sekarang tidurlah. Masih pusing?""Tadi Bapak menampar Mila?"
"Maafkan Bapak...." Pak Wibisono menyentuh pipi Karmila dengan lembut.
Hari semakin larut. Sudah menjelang pukul satu dinihari.
Karmila sudah tidur setengah jam yang lalu, setelah Ibu Wibi setengah memaksanya minum aspirin. Tapi Pak Wibisono bersama istri dan anak lelakinya seperti tak ingin segera tidur. Mereka masih membicarakan keanehan yang barusan terjadi. Ibu Wibi mengambil kesimpulan yang cukup menakutkan; Karmila kerasukan setan!"Mungkin saat itu pikiran Mila tengah kosong, dan....""Lalu, arwah siapa?! Jangan-jangan rumah ini 'berpenghuni'?!" Miko menyela dengan mimik ringis."Jangan berpikir aneh-aneh, Miko! Kamu mulai lagi terpengaruh film-film horor!"Ibu Wibi sedari tadi lebih banyak berdiam diri, tapi sesungguhnya ia merasa kahawatir dan ketakutan.
***
Pagi-pagi sekali ada tamu yang datang. Seorang tetangga baru, laki-laki setengah umur yang tinggal tak jauh dari rumah kediaman baru keluarga Wibisono."Kebetulan saya lewat hendak ke kampung sebelah, lalu mampir," kata laki-laki itu,namanya Pak Wisnu, menjawab keheran Pak Wibisono. "Saya semalam juga datang....""Oh, ya. Tentu saja saya masih ingat." Padahal sesungguhnya Pak Wibisono telah lupa. Ia belum bisa mengingat dan belum tahu siapa-siapa persis orang-orang yang tinggal di sekitarnya.
"Mengenai putri Bapak semalam...."Sampai di situ, Miko yang tengah mengelap sepeda untuk pergi ke sekolah merasa terusik. Ia menghentikan kesibukannya dan menguping pembicaraan ayahnya dengan Pak Wisnu."Apakah Ananda dalam keadaan baik-baik saja?"Pak Wibisono tertawa kecil. "Karmila tidak apa-apa. Semalam ia hanya merasa kecapekan, lalu begitulah," Pak Wibisono mengangkat bahunya, "sedikit bertingkah aneh. Ah, namanya juga anak-anak."
"Tapi, nyanyiannya itu...?"Miko merasa amat tertarik.
"Ada apa dengan nyanyiannya? Lucu, ya?" tanyanya akhirnya, setelah tak mampu membendung rasa penasaran. Ia nimbrung kini, melemparkan kain lapnya ke samping sepeda. Berdiri, lalu berjalan menghampiri ayahnya dan Pak Wisnu.
Pak Wisnu seperti menggumam. "Mengingatkan saya pada...."
"Apa, Pak?" Pak Wibisono dan Miko bertanya serempak. Rasa penasaran mereka semakin membuncah."Niar.""Niar? Siapa Niar?! Putri Bapak?" tanya Miko.

"Niar, putrinya Pak Sindhu." Pak Wisnu mengerutkan keningnya, ada bayang ragu tergambar di wajahnya."Maksudnya, Sindhu yang dulunya pemilik rumah kami ini?" tanya Pak Wibisono.
"Tapi, bukankah Pak Sindhu tidak punya anak? Setahu saya, Pak Sindhu itu seorang duda tanpa anak.""Pak Sindhu punya anak. Seorang. Namanya Niar. Dulunya... Niar juga suka menyanyi. Anak-anak memang suka bernyanyi, kan?"
"Biasanya begitu," Miko yang menjawab. Ia semakin tertarik dengan setiap ucapan Pak Wisnu. "Oh, jadi sebenarnya Pak Sindhu punya anak perempuan yang bernama Niar. Lalu, di mana sekarang? Ikut ibunya?"
"Ibunya... istri Pak Sindhu telah meninggal dunia, Miko." Pak Wibisono menjelaskan.
Miko masih sangat ingin berbincang-bincang dengan Pak Wisnu, tetapi nampaknya Pak Wisnu agak tergesa-gesa. Sebelum berbicara lebih banyak, ia telah berpamitan. Miko tak punya alasan untuk mencegahnya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar