Rabu, 18 Januari 2012

Arwah Yang Suka Bernyanyi CHAPTER 6-9


CHAPTER 6:
MISTERI RUMAH KUNO

Sore harinya Pak Wibisono dan istrinya membawa Karmila ke dokter, meskipun badan Karmila sudah tak panas lagi. Karmila sendiri sebenarnya enggan dibawa untuk berobat, karena merasa telah sehat. Anehnya, seperti semalam, ia juga tak ingat telah berbuat ganjil, bahkan telah melukai wajah kakaknya sendiri.Ketika rumah telah sepi, Miko juga keluar rumah. Sejak siang tadi, ia telah menetapkan niat untuk menemui Pak Wisnu yang datang tadi pagi. Begitu banyak informasi yang ingin ia ketahui, terutama mengenai tempat tinggal barunya. Di lingkungan barunya ini, Miko merasa hanya baru mengenal Pak Wisnu. Sampai detik ini, Miko hanya punya anggapan bahwa keanehan yang diperlihatkan Karmila pasti ada kaitannya dengan rumah baru mereka.Tak sulit untuk menemukan rumah Pak Wisnu di lingkungan yang tidak terlalu padat itu. Dan Miko agak lega karena ia disambut dengan baik dan ramah oleh Pak Wisnu."Ada apa Ananda datang kemari? Nampaknya ada sesuatu yang amat penting sekali...," sambut Pak Wisnu seketika, begitu melihat Miko datang dengan wajah keruh."Adik saya kesurupan lagi....""Kesurupan? Maksudnya, seperti semalam lagi? Masya Allah... saya tadinya hendak berkata begitu, tapi takut menyinggung perasaan ayahmu."
"Ja-jadi, Bapak pun tahu bahwa Karmila, adik saya, kesurupan setan?" Miko semakin antusias."Ada arwah yang merasuki adikmu....""Persis! Saya pun beranggapan begitu. Tapi, Bapak saya selalu menilai saya kelewatan, mengada-ada."
Pak Wisnu mengangguk-angguk, tanda memahami."Apakah ada kaitannya dengan rumah kami?""Saya tidak berani memastikan begitu. Tapi...."
"Apakah sebelumnya pernah terjadi keanehan di rumah itu? Sejak semula saya kurang setuju kalau Bapak saya membeli rumah hantu itu."
"Rumah hantu?""Mirip, kan? Suasananya begitu..." Miko berhenti sebentar. "Tunggu! Sekarang saya ingat lagi....""Selama ini tidak pernah terjadi keanehan di rumah itu, kecuali....""Tunggu dulu, Pak. Sekarang saya yakin bahwa suara nyanyian dari mulut adik saya sama sekali bukan suaranya. Melainkan...."
"Suara anak-anak?" potong Pak Wisnu."Ya, betul!"Sebentar, Pak Wisnu seolah membantu dengan mengernyitkan dahi berusaha mengingat-ingat. "Di telinga saya, suara itu adalah suara Niar.""Bapak yakin?""Dulu saya sering datang ke rumah itu untuk memotong rumput. Beberapa kali dalam sebulan Pak Sindhu mengupah saya untuk membersihkan halaman rumahnya. Memotong rumput, memangkas pohon. Jadi, saya sudah hapal dengan suara dan nyanyian Niar. Kasihan anak itu....""Tapi, kata Bapak saya, Pak Sindhu tidak memiliki anak.""Bohong. Mungkin ia hanya malu karena...." Pak Wisnu ragu untuk meneruskan ucapannya."Karena apa, Pak?" Miko mendesak.
Pak Wisnu menarik napas panjang terlebih dahulu. "Putri satu-satunya itu berubah ingatan!""Mak-maksud Bapak, gila?!"***
CHAPTER 7:
MISTERI ARWAH YANG SUKA BERNYANYI

Pak Wisnu menghela napas panjang lagi. "Panjang ceritanya. Tapi semua warga di daerah ini tahu persis peristiwa menyedihkan yang dialami keluarga Pak Sindhu."Miko takzim menyimak."Pak Sindhu mewarisi rumah tua itu dari kakeknya. Ia tinggal bersama istrinya yang cantik hingga kemudian dikaruniai seorang putri yang cantik. Niar namanya. Ia buah hati kedua orangtuanya. Sayang kebahagiaan mereka terenggut. Suatu hari mobil yang mereka kendarai mengalami kecelakaan fatal. Istri Pak Sindhu meninggal dalam kecelakaan itu.""Juga Niar?" Miko semakin antusias."Tidak. Niar selamat meski harus menjalani banyak waktu untuk perawatan. Dan ia... ia mengalami gangguan otak. Ia mengalami gegar otak berat karena benturan keras dalam kecelakaan tersebut. Berbagai cara telah ditempuh, namun hasilnya... entahlah, hanyan Pak Sindhu yang tahu. Setahu kami, Niar tumbuh semakin dewasa, tapi tingkah dan kemampuannya abnormal — tetap seperti anak kecil. Ia didiagnosis mengalami gangguan mental karena gegar otak akut. Bertahun-tahun Pak Sindhu hidup berdua dengan Niar yang tidak waras. Kala kecelakaan maut itu, Niar baru jalan lima tahun, hingga sekarang... mungkin usianya limabelas tahun.""Sama dengan usia Karmila," desis Miko."Tapi anehnya," lanjut Pak Wisnu," Niar tiba-tiba tak pernah kelihatan lagi. Orang-orang tak pernah lagi mendengar lagu-lagunya yang lucu dan racau.""Sejak kapan?""Hampir setahun yang lalu, tepatnya sebelum Pak Sindhu menikah lagi. Waktu itu....""Tunggu dulu, Pak! Jadi, Pak Sindhu sudah punya istri lagi?"
Pak Wisnu mengangguk. "Waktu itu, sejak wanita yang kemudian dipersunting Pak Sindhu hadir, Niar telah tidak kelihatan lagi. Katanya, entah siapa yang bilang, Niar dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kasihan, kan?"
"Seharusnya memang begitu.""Kenapa tidak dulu-dulu?""Pasti Pak Sindhu sudah banyak berupaya.""Ya, mungkin begitu. Ah, orang itu memang amat tertutup sejak istrinya meninggal. Ketika menikah, orang-orang di sini pun tak ada yang diundangnya ke pesta pernikahannya.""Mereka menikah di sini?""Tidak. Kabarnya mereka menikah di kota istri barunya. Dan sejak saat itu, rumah yang kalian tempati itu dikosongkan. Hanya sesekali saja Pak Sindhu datang menengok.""Pantas rumah itu kurang terawat," gumam Miko.
"Hampir setahun ditinggalkan."Apakah ada sesuatu yang tak wajar di rumah itu sehingga Pak Sindhu meninggalkan rumahnya, bahkan kemudian menjualnya dengan harga yang sangat murah. Rumah tersebut sebenarnya sangat artistik, bukan?"Pak Wisnu memainkan jari-jarinya. "Seingat saya tak ada yang aneh di rumah itu. Tak pernah.""Mungkin ada hantunya...."
Pak Wisnu menggeleng."Jangan karena ada saya, Pak....""Oh, tidak! Rumah itu biasa-biasa saja. Sekali pun tak pernah ada kejadian aneh, apalagi menyeramkan. Kesannya saja yang angker, karena tidak terawat dan catnya yang kusam termakan cuaca.""Lalu, kejadian apa yang telah menimpa adik saya? Kenapa bisa seperti itu? Kerasukan, seperti orang gila dan...."
"Saya bukan orang pintar, bukan dukun atau paranormal. Untuk urusan kerasukan setan, mungkin bisa diatasi oleh mereka, yang ahli ilmu gaib."
"Mudah-mudahan dokter bisa mengatasi. Mungkin Karmila memang sakit dah harus diobati...," gumam Miko."Saya harap begitu," ucap Pak Wisnu. Ucapan bernada bimbang.
***





CHAPTER 8:
ARWAH YANG SUKA MENYANYI LAGU ANAK-ANAK

Ibu Wibi kembali terguncang. Tengah malam, ketika semua baru saja terlelah, Karmila kembali bertingkah aneh. Kembali menari dan bernyanyi seperti orang gila. Pak Wibisono dan Miko berusaha memegangi tubuh Karmila, malahan terlempar ketika gadis itu meronta-ronta. Di tengah-tengah kepanikannya, tiba-tiba Miko ingat kisah yang dituturkan Pak Wisnu.
Miko telah berdiri persis di depan Mila yang masih berputar-putar dan menyanyikan lagu anak-anak dengan suara yang aneh."Niar!" suara Miko keras menghardik.Pak Wibisono kaget, sekaligus khawatir melihat tindakan Miko yang menurutnya sangat aneh. Tapi di luar dugaan, hardikan itu seketika menghentikan gerakan dan suara Karmila.Kamu Niar bukan? Kamu arwah Niar?!""Miko! Jangan macam-macam! Adikmu lagi sakit. Ia mengigau karena demamnya datang lagi!" Pak Wibisono mendorong tubuh Miko.
"Niar!" Miko tak mempedulikan ayahnya lagi. Ia sekali lagi menghardik. "Jika kamu berniat baik dan tak ingin mengganggu, pasti kamu mau menjawab. Kamu Niar, bukan?"Tiba-tiba Karmila menjatuhkan diri ke lantai, lalu menangis. Ia menangis sembari menggelosoh di lantai, seperti kelakuan seorang anak kecil.
 Miko mendengar tangis seorang bocah!
Pak Wibisono dan istrinya tak bisa berbuat banyak, kecuali memandang anak laki-lakinya itu, yang kini berjongkok sambil membelai kepala Karmila.
"Niar... Niar...," katanya lembut. "Kami semua orang baik-baik dan tidak ingin mengganggu kamu. Tolong katakan... apa yang kamu mau? Tolong, kasihanilah adikku. Niar... Niar...."Pak Wibisono dan istrinya menjadi takjub luar biasa manakala tiba-tiba Karmila menghentikan tangisnya.
Karmila berdiri setelah meraih lengan Miko, serta menarik kakaknya hingga berdiri juga. Sebelum Miko paham, ia terpaksa menurut ketika Karmila menariknya menuruni tangga. Karmila berhenti di anak tangga terakhir. Miko masih terus dipegang pergelangan tangannya oleh Karmila, seakan-akan orang buta yang ditunjukkan jalannya. Di samping tangga menuju lantai atas itu, mendadak Karmila kembali menangis. Berkali-kali ia menunjuk ke arah dinding di bawah tangga itu."Bongkar! Bongkar! Bongkar!" teriak Karmila berkali-kali bagai histeris. Ia terus menunjuk dinding di bawah tangga itu.
Miko kebingungan lagi. Ia memandang kedua orangtuanya yang juga sama-sama bingung.Tangis Karmila semakin keras. Ia kembali meronta-ronta dan menggelosoh di lantai, mirip kelakuan bocah kecil yang dikecewakan.
Setelah itu Karmila terkulai, tertidur di lantai yang dingin dengan keringat bersimbah di sekujur tubuhnya. Ketika Miko dengan susah-payah membopong Karmila ke kamar ibunya, Pak Wibisono menguntit dari belakang dengan sikap tak berdaya."Niar? Siapa Niar?""Anak Pak Sindhu. Bapak lupa cerita Pak Wisnu tadi pagi?"Setelah Karmila ditidurkan, Pak Wibisono dan istrinya duduk rapi di depan anak laki-lakinya. Miko menceritakan pertemuan dengan Pak Wisnu. Ia menceritakan kembali apa yang telah didengarnya dari Pak Wisnu."Aneh juga. Sekian pertemuan dengan Pak Sindhu, ia tak pernah bercerita perihal keluarganya, apalagi tentang anaknya yang mengalami gangguan mental. Bapak bahkan sama sekali tidak tahu bahwa Pak Sindhu telah beristri lagi.""Mungkin masih ada rahasia-rahasia yang sengaja disembunyikan olehnya. Rahasia-rahasia rumah ini," kata Ibu Wibi. Ia tak bisa menyembunyikan ketakutan dan kekhawatirannya. "Lalu, apa hubungannya dengan Niar? Apa betul orang yang belum mati bisa merasuki Mila? Aneh!""Bongkar...?!"Miko tengah berpikir keras.
***


CHAPTER 9:
MISTERI SATIR DI RUMAH KUNO

Hari ini Pak Wibisono berjanji hendak menemui seorang paranormal kenalannya sepulang dari kantor, untuk membicarakan keanehan yang terjadi pada Karmila. Ibu Wibi dan Miko amat mendukung keputusan Pak Wibisono itu, namun Miko juga punya rencana lain.Pulang sekolah, Miko tidak langsung pulang ke rumah, melainkan berbelok ke rumah Pak Wisnu. Untunglah Pak Wisnu juga sedang ada di rumah.Ketika telah berhadapan dengan orang tua itu, Miko langsung menceritakan kejadian semalam.
"Dinding di bawah tangga?" Pak Wisnu memotong cerita Miko.

"Niar... maksud saya Karmila, menunjuk-nunjuk dinding di bawah tangga itu. Bongkar! Bongkar! Begitu katanya, Pak."Pak Wisnu nampak berpikir. Ia tengah menggali ingatannya."Saya sering masuk ke rumah itu dan tahu persis situasi dari ruang-ruang di dalam. Tapi seingat saya, di bawah tangga ke atas itu sengaja dibiarkan terbuka.
Tentu saja terbuka, karena jadi ruang kecil yang dimanfaatkan sebagai gudang. Betul! Saya selalu mengambil sabit dan gunting rumput dari bawah tangga," ungkapnya."Nanti dulu! Bapak pasti salah ingat. Tak ada ruang di bawah tangga. Yang ada cuma dinding!""Bongkar...?" Pak Wisnu bergumam. Lalu tiba-tiba: "Ayo kita ke rumahmu!"Miko terbawa oleh semangat Pak Wisnu. Hanya dalam dua kali pertemuan, ia telah merasa akrab dengan Pak Wisnu. Tidak lama berselang sesampainya di rumah, Ibu Wibi tidak bisa berbuat banyak kecuali membiarkan Pak Wisnu masuk ke rumah. Ia percaya sepenuhnya pada Miko. Dan semua demi kebaikan Karmila!
"Dinding ini!" Miko menunjuk dinding di sisi tangga, atau lebih tepat disebut di bawah tangga. Semestinya ada ruang berbentuk segitiga di bawah tangga itu, namun yang ada adalah dinding. Dinding yang menutup ruang kecil berbentuk segitiga di bawah tangga."Dulu dinding ini tidak ada!" kata Pak Wisnu spontan. Spontan pula ia memukul-mukul permukaan dinding itu. "Nah, benar bukan? Dengarkan suaranya! Di balik dinding ini ada ruang kosong. Di sinilah dulu saya mengambil dan menaruh kembali peralatan kebun."
Miko ikut memukul-mukul dan akhirnya membenarkan ucapan Pak Wisnu.
"Ini dinding baru. Lihat perbedaan warnat catnya. Beda, kan? Dinding ini lebih baru dan... sayangnya agak asal-asalan membuatnya. Siapa tukang borong yang membuatnya?" Pak Wisnu berkata pada dirinya sendiri.
Selagi keduanya, ditambah kemudian dengan Ibu Wibi, masih memeriksa dinding itu, terdengar suara langkah tergesa menuruni anak tangga.
"Bongkar!"
Mereka bertiga menoleh dan tercekat."Mila?!" Ibu Wibi dan Miko menjerit serentak."Niar?" Pak Wisnu berkomat-kamit.Mulut Karmila yang mengeluarkan keluhan amarah, berangsur-angsur berubah menjadi tangisan pilu. Tangis seorang bocah!Mulut Pak Wisnu masih komat-kamit. Ia menggosok-gosokkan telapak tangannya, meniupkan tiga kali, lalu melangkah mendekati Karmila. Tangan Pak Wisnu terulur maju dan tahu-tahu telapak tangannya mengusap wajah Karmila.Miko dan Ibu Wibi kian terpukau ketika melihat Karmila seperti terhentak. Seketika pula ekspresi wajah dan cahaya matanya berubah."Ibu...?" Karmila menatap ibunya dan kakaknya bergantian. Matanya seperti seorang yang baru bangun dari tidur. "Pada mau ngapain?""Anu... Non, Ibu menyuruh saya membongkar dinding ini." Pak Wisnu justru yang menjawab sambil menunjuk dinding di bawah tangga.
"Lho, kenapa?" Karmila terheran-heran."Karena bisa untuk gudang, Mila," kata Miko.Ibu mengangguk. Artinya, di antara mereka bertiga, tanpa harus bicara, telah ada kesepakatan bahwa dinding itu harus dibongkar.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar